OLEH : YUSMAR YUSUF

Fajar dan Sesuatu...

Seni Budaya | Minggu, 23 Februari 2020 - 10:31 WIB

Fajar dan Sesuatu...


Fajar itu ialah cahaya perdana sebatang hari. Dibungkus mendung, dibalut awan, dikepung mega mandala, dia tetap menyembul dalam konfigurasi horizon. Horizon adalah sebatang garis datar yang mengabarkan tentang damai, pasifis, jeluk, sejuk, tenang, bodhista, menggelung rindu dan membungkus diam. Di atas selejang garis datar (horizon) itu terkandung asa, harapan. Fajar adalah desakan awal untuk memulai sesuatu, mengubak hari, memulai perjalanan matahari entah terik, entah redup kala siang menuju senja. Antara fajar subuh dan senja kala, memang terhidang dua garis datar. Jika rekahan cahaya fajar menyeruak binar harapan, maka cahaya yang dihidang kala senja merebah, adalah cahaya yang mendorong sisi spiritualitas insaniah. Kenapa? Karena senja adalah penanda datangnya malam, sementara malam dalam tradisi spiritualisme adalah domain ruh, domain batin, domain spiritual, domain air mata, domain segala makhluk bercanda dan bercumbu dengan Tuhan dalam narasi monolog merindu.

Pada belah malam lah, doa dimunajat, dipanjat. Pada bilangan malam pula segala bentuk atau jenis shalat lebih banyak menghanyutkan gelora batin dan degup spiritualitas berdendang. Sebagian besar shalat dalam Islam dilaksanakan pada paruh malam (lepas mata hari terbenam); terutama shalat wajib (maghrib, isya dan subuh), ditambah shalat sunat seperti tarawih, witir, tahajud dan lainnya. Wilayah malam adalah wilayah pengelanaan spiritual, yang juga banyak disauk oleh para penyair untuk menggubah karya, para pengarang meniti malam dalam genangan aksara dan kata-kata, lalu membungkusnya dalam wacana serba naratif tanpa ujung. Para astronom mengeja bintang-gemintang di pucuk malam, sebelum fajar menjelang. Dan fajar pun menandakan kecemerlangan akan waktu yang bergerak ke depan, masa yang berlari mengejar sesuatu yang nun jauh di masa yang juga serba tak pasti.

Baca Juga : Laman Rumput Hijau

Kita yang bermukim di kepulauan Melayu, dinisbatkan sebagai kawasan perdana yang mengerling kehadiran fajar. Fajar adalah kisah dan cerita yang dinanti oleh setiap insan. Karena fajar mengisahkan ibarat, mengabarkan laksana, umpama dan tamsil yang dekat dengan kenyataan. Fajar itu adalah cahaya. Dan cahaya adalah kebenaran. Fajar yang datang pada kala dia wajib merekah, takkan mampu ditutupi dengan sesuatu yang serba niskala di muka bumi dan cakrawala. Dia hadir membawa kisah tentang cahaya dan kebenaran. Bahwa cahaya sekecil apa pun, dia pasti menyemburat dan merona walau ditutup rapat oleh segala bentuk media. Begitulah, kebenaran tak bisa ditutup-tutupi dengan segala media dan instrumen yang dimaksudkan untuk menghilangkannya. Dia pasti akan menyembul ke permukaan, menyeruak di penampang yang terdedah. Semakin dia ditutupi, maka semakin besar desakan dari kebenaran itu sendiri menerjang segala jenis pembungkus yang menggelung.

Kebenaran itu sendiri terkadang dimasukkan dalam topik yang ‘licin’. Sebab, setiap orang bisa mengusung kebenaran menurut dirinya sendiri. Lalu ada kebenaran kolektif, kebenaran lokalitas, kebenaran adat resam dan seterusnya. Sehingga, dalam perjalanan yang serba ‘licin’ itulah, akhirnya kebenaran dinisbatkan sebagai sesuatu yang serba relatif atau niskala (alias tak mutlak). Lalu, kebenaran berlangsung dalam rempak naik turun, laksana bola yang bundar. Ada kala kebenaran menurut satu versi berada di atas, dan kala yang lain dia berada di posisi bawah. Medan ini bak medan frekuensi (mengenal turun dan naik) tapi menerobos. Tidak berada dalam medan modulasi (datar) yang juga berpembawaan menerobos. Ketika kebenaran itu berlangsung dalam “kelicinan-kelicinan” relatif, maka setiap orang, setiap puak dan kelompok, setiap bangsa, setiap agama mengusung dan menjinjit kebenaran masing-masing. Kebenaran-kebenaran ini yang kemudian menjulur dalam ragam derivasinya, bukan untuk dibenturkan. Akan tetapi harus dirayakan dalam model serba dialog. Bahwa dia harus didialogkan, bukan dibenturkan. Dengan dialog, berarti melibatkan dua pihak, bisa pula quatrolog (empat pihak) yang lebih ganda, dengan tujuan demi memelihara kebenaran masing-masing. Dengan memelihara dan merawat kebenaran masing-masing, maka manusia diajak dan dihimbau untuk bercumbu dengan satu istilah lagi yang juga bernada ‘licin’, yakni tolak angsur atau toleransi.

Selanjuntnya, toleransi yang ‘licin’ itu bisa menggelinding liar, dimanfaatkan sebagai suatu ‘konstanta’ yang menghancurkan bangunan dari dalam. Ketika mayoritas Islam di Indonesia diajak untuk bertoleransi dengan kaum minoritas, bukan malah diartikan untuk melemahkan atau menghancurkan Islam dari dalam. Dan kesan itu sangat dominan dirasakan akhir-akhir ini, apatah lagi dalam musim pemilihan kepala daerah dan pucuk pimpinan apa pun di negeri ini. Toleransi itu sendiri substansinya adalah menahan diri (atau imsak). Dan keimanan (sebagai domain spiritualitas) itu sendiri senantiasa menggelorakan “menahan diri”. Kekuatan untuk menahan diri dan menghindari benturan-benturan yang tak berfaedah dari sisi kemanusiaan itulah yang diusung oleh ‘fajar niscaya’ yang dimaksudkan oleh tamsil rekahan fajar. Di sini, fajar berfungsi sebagai penanda (signifier); penanda tentang “bertahan” atau “menahan” dan setia mengikuti siklusnya. Bahwa fajar datang dalam siklus yang tepat. Ini juga perlambang dari kisah “menahan”. Jika dia tak bisa menahan, maka fajar bisa saja hadir dan datang pada sepertiga malam, atau malah dia merekah para paruh malam. Ketika dia memaksa dan mendesak untuk hadir pada paruh atau sepertiga malam, maka dia  sama sekali tak memikul arti apapun secara fisikal, kosmologis, apatah lagi makna spiritual.

Setiap bangsa dan generasinya adalah sebuah kenyataan serba “perfect” (sempurna) menurut ukuran masing-masing. Rasa sempurna itu akan teringkus dengan elok ketika dia didialogkan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang dikonstruksi oleh komunitas yang berada di seberang dirinya. Dengan dialog lah segala kesombongan atau kecongkakan akan kendur dan lucut. Manusia yang dihadirkan di muka bumi ini bukan dihajatkan untuk memfestivalkan kecongkakan dan kepongahan. Akan tetapi untuk mendialogkan, menjahit segala serakan yang beragam warna dan rima, segala bunyi dan dengung, segala nada dan suara, segala teks dan konteks. Semua jahitan itu dihajatkan sebagai upaya memperkaya dimensi kemanusiaan dan peri kemanusiaan kita, sekaligus memperkaya kemakhlukan dan peri kemakhlukan yang menjadi kembaran hidup kita dalam sisian dan dampingan yang mencerahkan. Bahwa yang menumpang hidup di muka bumi ini bukan hanya manusia, ada sejumlah makhluk yang memikul peri kemakhlukannya masing-masing. Bercumbulah dalam cahaya fajar yang mencerah...

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook