Duduk di tengah rumah Siti Soleha sambil mendengarkan kisah bagaimana gadis cantik asal Cipang Kanan ini harus wafat karena disumpah Raja, bukanlah duduk biasa. Sungguh pengalaman pahit seorang perempuan yang rela mati daripada diduakan.
(RIAUPOS.CO) - RUANG tamu yang kecil itu sempit seketika. Penuh sesak. Rombongan Literasi Konservasi yang dibawa Komunitas Seni Rumah Sunting Pekanbaru pekan lalu itu, tidak ada satupun yang meninggalkan ruangan sampai cerita tentang Siti Soleha benar-benar selesai. Kisah itu dituturkan oleh Pandrison bergelar Datuk Kalisati keturunan keenam dari keluarga Siti Soleha. Datuk Kalisati tidak sendiri. Dia ditemani oleh kerabatnya yang lain dan dengan tenang ia menceritakan bagaimana Siti Soleha harus mati karena disumpah Raja.
‘’Siti Soleha waktu itu berusia 14 tahun. Raja Rokan keenam ingin menikahi dia. Pertama diutus hulubalang. Siti Soleha tidak mau, begitu juga keluarganya. Akhirnya Raja bernama Tuanku Ibrahim itu datang sendiri. Siti Soleha berusaha menjadi gila agar Raja tidak mau. Tapi Raja tetap mau menikahi dia,’’ Datuk Kalisati menceritakan.
Seluruh peserta Literasi Konservasi tidak ada yang berbicara satu pun. Semua mendengarkan kisah itu dengan tenang dan khidmat. Seolah-olah apa yang diceritakan Datuk Kalisati baru terjadi. Padahal, kisah itu sudah terjadi 200 tahun silam, sama dengan usia rumah tua tersebut. Sebagian menunduk, sebagian mengangguk antara resah atau mengambil tuah.
Rumah ini bukanlah rumah biasa. Bentuknya sama persis dengan istana Raja Rokan di Desa Koto Ruang, Kecamatan Rokan IV Koto. Ini menunjukkan masih ada kaitannya antara Soleha di Desa Cipang Kanan itu dengan Kerajaan Rokan. Memang itulah yang dibenarkan Datuk Kalisati. Raja Tuanku Ibrahim menikahi Siti Soleha yang menjalin hubungan selama 7 tahun sampai akhirnya bercerai.
Siti Soleha disebut-sebut sebagai gadis cantik dari suku Kandang Kopuh dengan gelar mamak sukunya Sutan Cahyo yang merupakan pecahan suku Chaniago. Kemolekan Soleha membuat Sultan Ibrahim tidak bisa berpaling dan kemudian menikahinya. Rumah ini dibangun sebagai tanda sayang dan cinta Sultan Ibrahim kepada Soleha. Rumah ini terletak di Dusun Kersik Putih. Tinggi rumah panggung ini lebih 1,5 meter dari tanah. Bagian atas teras depannya penuh ukiran. Begitu juga dengan bagian bawah depan, sejajar dengan lantai. Masih terawat dengan baik.
Rumah ini banyak jendela, baik di bagian depan, tengah, dan dapur. Ruang tamu yang merupakan ruang paling depan, dibuat lebar. Polos tidak ada kamar. Baru ada pintu di bagian menuju ruang tengah. Di ruang tengah ini ada satu kamar di sebelah kanan dengan satu jendela. Inilah kamar tidur Sultan dan Soleha. Sedang di bagian atasnya ada ruag kosong atau loteng untuk penyimpanan barang-barang. Ruang ketiga baru dapur yang dilengkapi dengan tungku di bagian kanan dan pintu keluar dengan tangga di sebelah kiri.
Di luar rumah bagian belakang, Sungai Rokan Kiri terlihat jelas. Airnya kekuningan. Ada jenjang batu menurun di tepian sungai yang sudah diturap. Lumayan panjang. Di sinilah dulu sultan turun naik perahu saat hendak pergi meninggalkan kampung atau naik setelah kembali dari daerah lain. Sungai ini adalah satu-satunya jalur transportasi ketika itu.
Sultan Ibrahim melihat kecantikan Soleha secara langsung dalam perjalanannya saat melintas di kawasan Kersik Putih, Cipang Kanan. Karena rasa penasaran yang menimbulkan rasa rindu berkepanjangan, sultan mengutus pengawalnya untuk mencari tahu siapa sebenarnya Soleha dan bagaimana kehidupannya.
Manikah selama tujuh tahun dan tidak memiliki keturunan barangkali menjadi alasan Raja Tuanku Ibrahim untuk menikah lagi. Soleha tidak setuju. Sesuai dengan perjanjian awal sebelum menikah bahwa Soleha mau dinikahi tapi tidak untuk dimadu. Sayangnya Raja Tuanku Ibrahim tetap menikah dan Soleha tetap menolak. Amarah Raja Tuanku Ibrahim membuat dirinya mengucapkan sumpah kutuk untuk Soleha.
Sumpah itu ada dua. Pertama, Soleha tidak dibenarkan, tidak boleh menikah dengan lelaki manapun selagi lelaki itu berada di kawasan Rokan yang merupakan kekuasaan sultan. Kedua, jika menikah lagi, Soleha akan mati. Perceraian benar-benar terjadi. Waktu terus berlalu. Soleha kemudian bertemu jodoh di saat usianya dewasa dan lebih mapan dalam menjalin kehidupan rumah tangga. Lelaki itu memang bukan orang Rokan. Ia orang Pasaman, Sumatera Barat yaitu seorang saudagar besar bernama H Harun.
Manikahlah Soleha dengan Harun dan tinggal di Pasaman. Tidak lama menikah, Soleha hamil dan melahirkan. Tapi seperti terkena sumpah sultan, Soleha meninggal saat melahirkan anaknya dan dikubur di kampung halaman suaminya, Rao, Pasaman Timur. Di atas makam Soleha ada makam kecil yang menumpang di atasnya. Itulah makam anaknya yang disatukan dengan makam Soleha.
Kisah Soleha dan rumah peniggalan raja yang masih berdiri kokoh itu tidak pernah lepas dari ingatan warga Cipang Raya, khususnya Cipang Kanan. Kedekatan Soleha dengan Sultan Ibraim juga disebut-sebut sebagai jalan kedekatan antara mamak suku Soleha, Datuk Sutan Cahyo dengan Sultan Ibrahim, sehingga setiap ada pertemuan adat di Istana Rokan, Sutan Cahyo dengan sangat mudah bertemu atau berkomunikasi atau masuk ke dalam istana. Segala urusannya dengan kerajaan berjalan dengan mudah. Tidak seperti datuk-datuk lainnya.
Soleha hidup dalam usia yang cukup panjang, lebih dari 100 tahun. Ia hanya memiliki satu saudara, yakni bernama Maimunah. Soleha tidak sempat memiliki keturunan sedangkan Maimunah dikaruniai satu orang anak bernama Halijah yang hidup hingga usia 80 tahun. Halijah pula memiliki empat orang anak, yakni, Bayani, Umar, Syamsir dan Kasia. Cucu dari Halijah inilah yang masih bisa bercerita tentang Soleha dan peninggalan sejarah berupa rumah tua Sultan Ibrahim tersebut. Ada Pintin dan Yunir, anak dari Kasia. Ada Erisman, Ernida, Badriati, Samsiati dan Pandrison. Dikatakan Pandrison, ia memanggil Soleha dengan sebutan Unyang. Ia dan saudara-saudaranya yang lain menjaga semua peninggalan Soleha dengan baik, termasuk rumah panggung (istana) yang belum dipugar sama sekali.
Meski sudah tua, rumah ini masih dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kegiatan besar atau helat adat di Kersik Putih. Acara balimau dan niat tahun, semua prosesi dimulai dari rumah ini. Sering digunakan untuk pertemuan dan rapat-rapat adat, bahkan jika ada sengketa atau permasalahan yang tidak bisa diselesaikan di tengah masyarakat, maka diselesaikan di rumah ini. Masyarakat meyakini dan menjadikan rumah ini sebagai warisan yang mesti dijaga serta dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
Di rumah peninggalan Soleha dan Sultan Ibrahim ini masih ditemukan mangkuk dan barang-barang bersejarah lainnya, barang yang digunakan sultan dan Soleha semasa hidupnya. Agar tidak hilang atau rusak, barang-barang disimpan di rumah cicitnya Soleha bernama Badriati. Ada kursi tempat duduk santai sultan berserta meja tempat kopinya di atas loteng. Barang ini bisa dikatakan masih utuh meski sudah agak lapuk. Ada beberapa lapik atau karpet bewarna merah yang disimpan di dalam kamar sultan. Sudah lapuk juga. Banyak yang koyak dan sudah usang. Beberapa peninggalan Siti Soleha juga dilihat peserta Literasi Konservasi.
Cipang, Aku Pulang
Selama Tiga hari dua malam, Komunitas Seni Rumah Sunting Pekanbaru menggelar Literasi Konservasi di Desa Cipang Kanan tersebut, yakni tanggal 9-11 April 2021. Puluhan peserta dari berbagai profesi, komunitas dan daerah hadir dalam kegiatan yang mengusung tema ‘Cipang, Aku Pulang’ ini. Peserta tersebut antara lain, Komunitas Ladang Raso Sumatera Barat (Arbi Tanjung dkk), Lenggok Media Rohul (Nuratika dkk), Papala Padang Sawah Kampar Kiri (Kasmono dkk), Laskar Penggiat Ekowisata Riau (Gober dkk), Salmah Creative Writing (Siti Salmah), Ubaidillah Al Ansori (Redaktur Budaya Rakyat Sumbar), DR Hermawan An (dosen dan sastrawan), Union Adventure (Nanda), Jungle Ghost Riau (Dedy), Komunitas Menulis Kreatif Rokan Hulu (Suyatri dkk), SMON 04 Ujung Batu Rohul (Kepsek Lisa Armis) dan masih banyak lainnya. Bahkan turut datang juga, Mamen, backpacker asal Palu, Sulawesi Tengah.
Peserta yang berasal dari berbagai komunitas dan daerah ini rata-rata penulis, penggiat sastra, wisata, budaya, guru, pelajar dan kepala sekolah. Lengkap, dari usia dini sampai usia lebih setengah baya.
Selama tiga hari dua malam itu, peserta diinapkan di satu rumah milik mertua Kepala Desa Cipang Kanan. Mereka berdiskusi dan mengikuti berbagai rangkaian kegiatan. Saat tiba di Desa Cipang Kanan dan turun mobil double kabin milik Inhutani yang mengantarkan mereka, peserta langsung disambut Kepala Desa, Abadi, dan segenap Datuk Ninik Mamak serta masyarakat Cipang Kanan. Malam harinya, mereka mengikuti kegiatan Literasi Konservasi di los pasar Dusun Kubang Buaya, yakni diskusi bersama lima nara sumber. Mereka adalah Kepala Desa Cipang Kanan Abadi, Datuk Sa’danur, Arbi Tanjung dari Sumbar, Jabrizal S Hut dari BPDASHL dan Kunni Masrohanti.
Sabtu atau di hari kedua, peserta mengikuti perjalanan ke destinasi wisata Air Terjun Sarosah Tinggi yang terletak di Dusun Batas. Perjalanan yang panjang, berangkat pukul 10.00 dan kembali ke Kubang Buaya pukul 21.00 WIB. Selama peserta ke air terjun, sebagian panitia tinggal di desa dan melakukan edukasi konservasi melalui seni khusus untuk anak-anak.
Sabtu malam, digelar Panggung Konservasi. Berbagai seni ditampilkan, baik dari peserta maupun masyarakat desa di tiga dusun yang ada di desa tersebut, yakni Dusun Kubang Buaya, Kersik Putih dan Kampung Batas. Ada seni tari, musik, lagu, sastra lisan marotik, silat, oguong, musikalisasi puisi dan pembacaan puisi. Los pasar yang berada di jantung Desa Cipang Kanan selama dua malam itu pun penuh, tumpah ruah. Masyarakat dari Desa lain juga berdatangan termasuk dari desa-desa Sumbar yang berada di perbatasan.
‘’Desa Cipang Kanan ini desa terluar di Riau yang berbatasan langsung dengan Desa Rumbai, Kecamatan Mapat Tunggal, Sumbar. Maka, Literasi Konservasi yang kita laksanakan ini juga disaksikan masyarakat Sumbar yang ada di perbatasan itu,’’ kata Kunni.
Kunni dan keluarga besar Rumah Sunting melaksanakan kegiatan ini tidak sendiri. Dukungan banyak pihak, kata Kunni, adalah hal utama yang menyebabkan kegiatan ini bisa terlaksana.
‘’Ke Cipang Kanan ini sulit, jauh. Jalan buruk, sinyal susah, anak-anak banyak. Mereka juga perlu hiburan dan edukasi yang lebih tentang banyak hal, termasuk tentang pentingnya literasi konservasi yakni memahami dengan dalam tentang pentingnya menjaga alam dan budaya. Mereka ini pelakunya, pemiliknya dan penjaganya. Terjaga alam dan budaya Cipang Kanan, terjaga Riau, terjaga Indoneaia,’’ beber Kunni.
Kuni mengaku sangat berterimakasih Kepada Kepala Desa Cipang Kanan yang menyambut dan memfasilitasi kegiatan ini dari awal hingga akhir. Tentunya juga kepada masyarakat Cipang Kanan. Begitu juga kepada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Kementerian LHK RI yang menfasilitasi transportasi sekaligus memberikan edukasi tentang Rehabilitasi Hutan Lindung (RHL) saat diskusi di malam pertama di desa tersebut.
‘’Kerja kolektif, kolaboratif ini yang paling penting. Rumah Sunting tidak bisa sampai ke Cipang Kanan, tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan banyak pihak, terutama Pak Kades Abadi yang semangat luar biasa. Saya salut, dan dia sosok yang layak dicontoh dalam upaya membangun desa yang berkarakter,’’ kata Kunni Lagi.
Kegiatan diakhiri dengan Ziarah Budaya ke rumah istri Raja Rokan Kedua Tuanku Ibrahim, yaitu Siti Soleha di Dusun Kersik Putih serta penanaman pohon kehidupan. Selama Ziarah Budaya, peserta disuguhi tarian dan musik tradisional Gondang Oguong. Saat itu juga peserta ikut menari bergembira ria sambil mengeluarkan uang sukarela untuk penari cilik tersebut.
‘’Saya sangat bangga sekali karena Rumah Sunting memilih Cipang Kanan sebagai lokasi Literasi Konservasi. Semua ini terjadi bukan tiba-tiba. Kami memang intens berkomunikasi, bahkan sudah sejak lama sampai hari ini. Kami hanya berharap Literasi Konservasi jangan hanya sampai di sini. Datanglah kembali, pulanglah ke Cipang Kanan seperti tema yang dipilih Bu Kunni dan kawan-kawan. Kami menunggu untuk terus belajar, untuk kemajuan Cipang Kanan dan masyarakat di sini,’’ kata Abadi pula.***.
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul