Ketika para penyair merayakan luka dalam sebuah karya, yang muncul adalah gagasan dan pandangan kritis bagaimana para penyair itu kembali menghasilkan karya yang lebih sempurna. Suasana inilah yang terasa ketika para penyair berkumpul dan memperbincangkan karya tersebut.
SUASANA di Rumah Kayu Ahad malam (26/12) itu sedikit berbeda dengan biasanya. Tempat yang sebagiannya adalah kafe tempat berkumpul anak muda dan sebagiannya lagi merupakan toko buku ini, ramai pengunjung.
Bukan pengunjung biasa yang datang sekedar menyeruput hangatnya kopi melawan dinginnya suasana di Jalan Berok tepi laut Kota Padang, tapi datang untuk memperbincangkan karya puisi dan membaca puisi-puisi tersebut.
Karya tersebut adalah buku puisi berjudul Dan, Perempuan yang Kau Telan Air Matanya, karya Kunni Masrohanti, penyair asal Riau yang juga Ketua Penyair Perempuan Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh Salmah Publishing tahun 2020 dengan 74 judul puisi di dalamnya. Dan, nyaris, seluruh puisi dalam buku ini merupakan puisi-puisi luka. Maka, malam itu pun seakan menjadi malam perayaan atas sebuah luka yang mengalir deras dalam kata-kata.
Para penyair Sumatera Barat malam itu berkumpul. Ada juga penyair dari Riau, selain Kunni sendiri. Mereka memperincangkan buku puisi itu dalam helat yang diberi nama diberi nama Bincang Buku. Kegiatan ini menghadirkan dua pembincang, yakni Dr Hermawan An dan Yeyen Kiram dengan moderator Ahmad Suwistyo. Selain memperbincangkan buku puisi kelima karya Kunni tersebut, juga membahas proses kreatif kepenulisan buku tersebut.
Penyair Sumbar yang hadir dalam helat tersebut di antaranya, Muhammad Ibrahim Ilyas, Syarifuddin Arifin, Sulaiman Juned, Boy Chandra, Arbi Tanjung, Alizar Tanjung, Nasrul Azwar, Ubaidilah Al Ansori, Nasrul Azwar, Komunitas Kuflet Padangpanjang, Komunitas Nan Tumpah dan beberapa lainnya . Sedangkan penyair Riau yang hadir antara lain Kazzaini Ks dan Siti Salmah yang juga owner Salmah Publishing.
"Membaca buku ini kita dibawa secara tidak langsung tentang Kunni sendiri, sangat personalitas tentang Kunni. Buku ini bicara tentang perempuan, lingkungan sesuai latar belakang Kunni. Puisi-puisi dalam buku ini adalah puisi yang keseluruhannya penuh luka, airmata, puncak kesedihan seorang wanita," kata Yeyen Kiram malam itu.
Halaman yang tidak begitu luas itu pun tumpah ruah. Kursi-kursi kayu dan ban bekas yang disusun sedemikian tidak ada yang kosong. Bahkan, sebagian peserta duduk melantai di atas tikar yang dibentang di atas rumput hijau. Perbincangan yang dimulai oleh Yeyen Kiram pun semakin hangat dan menukik ke intinya.
Hal ini ditandai dengan ungkapan Hermawan An yang menyoroti buku itu dari berbagai sisi, baik kekurangan atau kelebihannya. Bahkan latar belakang mengapa Kunni menulis buku puisi ini juga disebut Hermawan.
"Semua puisi dalam buku ini tidak menggunakan kapital. Misalnya kata gili, ada beberapa gili. Apakah gili nama tempat atau yang lain. Ada beberapa kata lain juga sehingga saya harus bolak balek membuka kamus. Itu memang tugas pembincang atau pembahas, tapi Ini kelemahan menurut saya. Meski begitu, banyak bahasa lokal yang juga membuat saya haru membuka kamus. Ini luar biasa, banyak kosa kata lokal yang muncul. Ini juga upaya Kunni menjaga bahasa lokal. Ini sisi kelebihan. Kemudian, banyak luka dan kepedihan dalam buku ini. Saya tahu juga perjalanan Kunni yang sedikit banyak menurut saya jadi larar belakang kenapa buku ini lahir. Apapun, tahniah buat Kunni," kata Hermawan.
Usai narasumber menyampaikan banyak hal, lalu dibuka diskusi santai. Kesempatan ini membuat penyair yang hadir banyak menyampaikan pendapat. Salah satunya Ubaidillah Al Ansori. Kata Ubai, Dan pada judul buku puisi karya Kunni tersebut adalah seseorang. Ada empat tokoh dalam buku ini katanya, yakni seseorang, dia, aku dan kau.
"Ada empat tokoh dalam judulnya saja. Ini menurut saya. Dan perempuan pada judul itu bukanlah perempuan yang sesungguhnya, tapi simbol. Bisa sungai, bumi, pohon dan lain sebagainya. Kunni mencoba menggambarkan kepedihan-kepedihan dalam ini dalam buku ini," kata Ubai yang juga penyair muda itu dengan semangat.
Lain halnya dengan penyair Galodo Syarifuddin Arifin. Ia lebih banyak menyoroti metafore, majas dan symbol-simbol dalam setiap kata yang banyak ditemukan pada puisi-puisi dalam buku ini. Syarifuddin berharap agar semua itu tidak menjadi tempat bersembunyi bagi penyair untuk menutupi kekurangan-kekurangan karya itu sendiri.
Sementara itu, seniman dan penyair Muhammad Ibrahim Ilyas, menegaskan, puisi-puisi kali ini berbeda dengan puisi-puisi dalam buku-buku sebelumnya.
"Puisi Kunni kali ini lebih nyaman dan asyik dibaca di kamar saja. Harus direnungi dan diresapi," katanya sebelum membacakan dua puisi dalam buku tersebut.
Pada kesempatan itu, Kunni menyerahkan buku puisi tersebut kepada narasumber, moderator dan beberapa penyair Sumatera Barat.
"Terima kasih kepada penyair Sumbar dan Riau yang hadir dalam Bincang Buku ini, khususnya Arbi Tanjung selaku penggagas," kata Alizar Tanjung pemilik dan pengelola Rumah Kayu.
Laporan: Muslim Nurdin (Padang)