Puisi-puisi bertema sejarah —entah tokoh atau peristiwa— masih menjadi pilihan bagi pembaca puisi di Indonesia, dan masih hadir di media lokal maupun nasional setiap minggu. Puisi bertema sejarah Indonesia bagi saya seperti semen di antara batu-batu bata, sebagai perekat pertanyaan-pertanyaan yang akan tersusun menjadi sebuah bangunan, tapi saya belum tahu apakah bangunan itu nantinya kokoh atau malah runtuh.
Tentunya sejarah sebelum penjajah datang, masa-masa pergerakan, maupun setelah kemerdekaan menjadi sumur yang tidak pernah kering bagi penyair-penyair dalam berkarya.
Beberapa yang sering muncul dalam puisi yang saya maksud, seperti tokoh-tokoh pada masa pergerakan yang kadang masih dianggap tabu oleh masyarakat hari ini. Di luar ideologi-ideologi yang dibawa oleh masing-masing tokoh, tapi tujuan mereka satu, yakni melepaskan diri dari penjajah.
Misalnya Ahda Imran yang menghadirkan Tan Malaka dalam buku Rusa Berbulu Merah. Triyanto Triwikromo dalam buku Kematian Kecil Kartosoewirjo. Puisi "Sjahrir, di Sebuah Sel" karya Goenawan Mohamad atau puisi pendek Binhad Nurahmad "Komunis Curah Malang Semaoen".
Penyair-penyair muda juga tidak ketinggalan dengan gaya yang lain. Misalnya Esha Tegar Putra dengan puisi "Thamrin" yang saya kutipkan sedikit baitnya di bawah ini;
“Telah aku cintai pula kota ini, Thamrin. Seperti kucintai kota di pedalaman Sumatra, dengan segala kekurangan dan kelebihan.”
Dari teks "Thamrin" saya menangkap si "aku" yang datang ke Jakarta, merasakan kejamnya ibukota, tapi membawa Thamrin dalam igaunya. Kenapa Thamrin, bukan yang lain. Kisah tentang Thamrin pernah saya dapat dari novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer. Thamrin Mohammad Tabrie, nama lengkapnya, juga salah satu tokoh di balik berdirinya Syarikat Islam. Di mana kemudian berubah menjadi Syarikat Dagang Islam, dan entah kenapa yang diajarkan pada saat saya sekolah menengah lebih banyak catatan sejarah tentang SDI dan Cokroaminoto daripada Thamrin sendiri.
Hal tersebut yang hendak dibawa oleh penyair, agar pembaca mengingat kembali Thamrin sebagai salah satu tokoh pergerakan di masa-masa kolonial, meskipun Pramoedya menulis Thamrin “bersedia memberikan bantuan, asalkan, asalkan, asalkan tak ada sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.” (Halaman 288: Jejak Langkah). Pada masa itu mungkin Thamrin masih takut dengan pemerintahan Hindia-Belanda, maka puisi Esha Tegar Putra berkesempatan membalas “agar ketakutan demi ketakutan dan bala demi bala hanya datang dan bersarang di mimpi paling buruk.”