Puisi-puisi beberapa penyair yang saya sebut di atas bukan ingin bermaksud mengubah catatan sejarah. Catatan-catatan sejarah tetap menjadi ruang kerja sejarawan. Penyair sekadar menghadirkan, secara tekstual yang baik tentunya. Berdasarkan dorongan atau naluri yang dikatakan Freud, ungkapan-ungkapan para penyair ini yang lahir dari sejarah yang kelam. Juga kemanusiaan. Di sanalah tugas sastra, khususnya puisi bergerak dalam ruang-ruang yang seperti itu.
Puisi bertema sejarah ini menurut saya harus dipertahankan. Karena masih banyak sejarah Indonesia —tokoh dan peristiwa— yang belum dihadirkan dan masih dianggap tabu oleh masyarakat. Saya selalu menunggu apabila ada penyair-penyair muda yang memuisikan tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dien, Siti Soendari, Marco Kartodikromo, DN Aidit, dll. Atau perang di Aceh dan Bali yang konon katanya sulit ditaklukan oleh Kompeni.
Namun setelah beberapa waktu lalu Norman Pasaribu menjadi Juara 1 Lomba Cipta Puisi yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan membawa tema homoseksual, saya sedikit ragu apakah tema-tema sejarah masih akan bertahan beberapa tahun ke depan, dan diminati penyair-penyair muda.
Di mana karya sastra menurut saya adalah cerminan bangsa, apa yang bisa kita bawa dan ceritakan ke dunia. Selain sejarah mungkin penyair bisa menggali tema lokal, kuliner, dll. Karena apabila puisi seperti Norman Pasaribu diterjemahkan, lalu dibaca oleh seorang sastrawan luar, kira-kira menurut anda, apa yang akan dikatakan seorang sastrawan luar tersebut?***
Alpha Hambally, lahir di Medan, 26 Desember 1990. Menamatkan pendidikan di ITS Surabaya. Pembaca dan penulis puisi. Esainya pernah dimuat di Riau Pos. Juara 1 Lomba Menulis Feature di buruan.co (Didukung oleh Balai Bahasa Jawa Barat dan Jual Buku Sastra). Puisinya pernah dimuat di Riau Pos dan Pikiran Rakyat. Termaktub dalam kumpulan puisi Bendera Putih untuk Tuhan Riau Pos 2014 dan Pelabuhan Merah Riau Pos 2015. Kini tinggal dan berkarya di kota Pekanbaru dan bergiat di Komunitas Paragraf.