OLEH ALPHA HAMBALLY

Membaca Puisi, Merasakan Kelam Sejarah Indonesia

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 01:13 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Korban-korban pada peristiwa tersebut menelan lebih dari 10.000 jiwa, karena ternyata bukan hanya pelaku kejahatan yang dimusnahkan, melainkan juga "yang diduga" pelaku kejahatan dan penjahat yang sudah bebas dari pidana. Dan puisi “Menggugat Nota Merah” karya Ramon Apta secara tidak langsung ada di dalam kejadian tersebut. Dalam bait “Tentu kami akan menjadi api/Bagi tikus-tikus busuk/Yang menyesaki lumbung padi.//Dan ketika kau membicarakan harga/Karet penghapus untuk menghilangkan cap jari/Pada bagian kanan bawah surat merah ini” telah menjadi refleksi untuk mengingat kembali Petrus yang terjadi karena alasan ekonomi. Juga menggugat Soeharto, tentunya.

 Kemudian yang terakhir karya salah satu penyair muda Pekanbaru, Boy Riza Utama berjudul "Melipat Hujan: Jugun Ianfu". Puisi deskripsi si "kami" dalam peristiwa pertemuan tidak sengaja dengan seorang tua (mungkin saksi hidup) yang berkata, “Di kampung kami, semua wanita adalah tembang. Kau harus menghapalnya dan boleh juga keindahannya dinikmati bersama”

Jugun Ianfu juga tercatat sebagai kejadian masa lalu yang tidak manusiawi. Di mana perempuan dijadikan budak seks di koloni Jepang, salah satunya di Indonesia. Puisi karya Boy Riza Utama mencari sesuatu dari kesamar-samaran, dua kalimat yang menguatkannya adalah “Di mana gadis kecilnya menukar kerlingan dengan uang” dan “Apakah pada tunggangan Jepang yang kau parkir itu, tersimpan nama adikku? Dikatanya, Aku rindu".

Maksud saya, betapa pahitnya apa yang terjadi di pihak perempuan yang menjadi korban maupun pihak keluarga yang kehilangan, sehingga di puisi tersebut ada dua pertanyaan yang maksudnya sama dari dua orang yang berbeda. Kekejian Jepang yang mau tak mau harus dimaafkan, telah dilipat Boy Riza Utama ke dalam hujan.

***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook