KOLOM MARHALIM ZAINI

Kembara Leon Agusta

Seni Budaya | Minggu, 13 Desember 2015 - 07:47 WIB

Kembara Leon Agusta
Marhalim Zaini

"Menulis puisi bukan pekerjaan, menjadi penyair bukan tujuan..."

DEMIKIAN kata penyair yang bernama asli Ridwan Ilyas itu. Sampai ia dikabarkan berpulang 10 Desember ini, kita semua meyakini, bahwa kalimat itu masih ia pegang teguh. Ia, Leon Agusta, memang menulis puisi bukan untuk mengejar statusnya sebagai seorang penyair, bukan pula sebagai ladang pekerjaan. Sebab, ia sepertinya paham betul, puisi adalah sebuah jalan panjang, laluan bagi jiwanya yang bertumbuh dalam kembara.

Apa yang kita bayangkan ketika Leon menulis puisi “Mengembara,” ini: “Dengan mesra kusandang dosa itu/ Sudah diamanatkan bagiku: mengembara/ Bagi hasratku yang berjalan jauh/ Hingga sudah biasa aku berpisah/ Nafas damai dan tidur yang nikmat/ Khianat diterima tanpa kesumat....” Adalah sebuah tekad. Sebuah keputusan yang final bahwa “mengembara” di jalan puisi, adalah sebuah amanah—yang sedikit saja meleset, sedikit saja cuai, maka ia berujung dosa, menuju kesesatan.

Baca Juga :Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

Maka, ia bebaskan dirinya, sebagai individu (manusia modern). Ia lepaskan kampung halaman (di Maninjau, Sumatera Barat), untuk kembara. Samakah kembara itu dengan merantau—sebagai filosofi alias common sense orang Minang itu? Boleh jadi sama, tapi boleh jadi juga tidak. Sama-sama pergi meninggalkan kampung halaman, ya. Tapi, meninggalkan kampung, saya kira, tidak serupa dengan “melepaskan” kampung. Sebab ketika Leon “melepaskan” kampung, seperti ada rajuk-dendam yang dalam, yang ia bawa serta dalam dirinya. “Aku pergi/ Tak tahu bagaimana mengucapkan salam perpisahan// aku hanya mendengar suara burung disahuti oleh pagi// gemanya mengiring angin melintasi gelombang// cintaku berlayar sampai jauh/ rindu bisa tak sampai/ sampai tak bisa rindu,” (“Maninjau Kampung Kelahiran”).

Dan ia berhasil sebagai pengembara, tapi mungkin bukan sebagai perantau. Kembara, mungkin bisa juga dimaknai secara harfiah berbagai bentuk perjalanan fisiknya ke pelbagai negara di Asia, Amerika, dan Eropa. Tapi, sepenuhnya kita dapat pula maknai sebagai perjalanannya melepas seluruh rasa rindu. “Rinduku pun kelabu, Ibu/ Tapi empedu di kerongkongan/ Ibu pun takkan kenal wajahku sekarang/ Tak akan ada yang tanyakan anakmu, Ibu/ Kalau pun pulang takkan dipinang...(puisi “Kenapa Tak Pulang, Sayang”).

Membaca puisi-puisi dalam buku “Gendang Pengembara” (2012) misalnya, bertambah yakin kita, bahwa Leon sedang terus-menerus manabuh gendang kembara itu—terutama sebagai pilihan hidup. Dan puisi, tidak semata sebagai kendaraan, tapi boleh jadi juga puisi sebagai “ibu” tempat ia mengikatkan rindu. Rindu yang kelabu itu, dalam dan oleh puisi, menjelmakan “ibu” yang sejati, yang terus membakar heorisme pengembaraannya.

Hemat saya, itu juga yang membuat puisi “Mengembara” ia tulis di penjara Tanah Merah, Pekanbaru-Riau. Penjara, adalah ikatan, yang mengungkung fisiknya. Tapi puisi, tak bisa di penjara. Tak ada besi atau borgol yang sanggup membatasi kembara puisi. Meksipun, di puisi lain, berjudul “Dengan Temanku Alex” Leon menulis begini, “di penjara, dingin menyusup tajam/ menembus rabuku basah mengerang/ tak ada album/ atau catatan kenang-kenangan/ hanya ada tembok, jeruji, dan kunci...”

Tapi, tentu, di situlah puisi yang lirih, seperti merambat di tembok-tembok bisu. Puisi, yang seakan tak bersuara, tapi bergerak. Puisi, yang diam-diam seperti bergembira dalam nasib yang menyakitkan.  Dan “semua sudah dimaafkan,” tulis Leon, “sebab kita pernah bahagia...” Sampai “maut pun takkan menembus kebimbanganku...”***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook