PARADE TEATER RIAU 2019

Bak Oase di Padang Pasir

Seni Budaya | Minggu, 12 Mei 2019 - 11:26 WIB

Bak Oase di Padang Pasir

Umat teater, umumnya di Riau haus akan satu perhelatan. Dalam konteks ini, sebuah festival atau lomba bergengsi untuk menunjukkan kebolehan mereka mengolah gagasan menjadi karya. Hal ini, tentu saja, stagnannya perhelatan yang ditaja pihak-pihak terkait, pemerintah maupun non pemerintah.

 


(RIAUPOS.CO) -- UNTUNGLAH sejak dua tahun terakhir, ada satu festival yang bertahan dengan tajuk, “Parade Teater”. Khusus tahun ini, helat itu dilaksanakan UPT Bandar Serai, Dinas Pariwisata Riau pada 30 April lalu di Anjung Seni Idrus Tintin, Kota Pekanbaru. Festival ini, bak oase di padang tandus, minimal bagi insan teater se-Riau.

Tercatat 11 komunitas teater se-Riau ikut ambil bagian memeriahkan perhelatan tersebut. Jumlah itu tentu saja cukup menggembirakan, karena setiap peserta tidak ditanggung secara finansial. Mereka berangkat dari kabupaten/kota-nya ke Pekanbaru dengan biaya transportasi serta penginapan masing-masing. Ini menjadi bukti bahwa kehausan insan teater pada pertemuan serupa itu nyata adanya.

Aura persahabatan antar mereka pun tampak dan terasa meyakinkan. Ditambah lagi, nuansa persaingan sehat antar mereka yang menjunjung sportivitas terasa menggembirakan. Palingtidak, dewan pengamat atau juri yang terdiri dari lima orang, satu asal Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, dan empat dari Riau mengakui hal itu. Bahkan saat penilaian berlangsung, diskusi menentukan pemenang berjalan alot dan cukup memakan waktu.

“Pemenang tahun ini bukanlah yang terbaik/ terunggul, namun memang memiliki potensi besar untuk menjadi yang terbaik. Makanya, kami punya tanggung jawab besar untuk memberikan masukan pada karya pemenang. Ya, kami berharap pihak penyelenggara bisa mempatilitasi hal itu agar wakil Riau yang akan berfestival Juni 2019 di TMII tampil maksimal dan meyakinkan. Jika perlu bisa menyabet juara nasional,” ulas Ketua Dewan Juri GP Ade Dharmawi sebelum pengumuman pemenang yang diamini empat juri lainnya.

Dijelaskannya, harus diakui, bahwa karya-karya yang diikutkan pada tahun ini, jauh lebih meningkat dari tahun sebelumnya. Masing-masing sutradara tampak berjuang keras untuk mewujudkan gagasan ke atas panggung dengan pilihan-pilihan artistiknya. Barangkali, setiap sutradara memahami benar kekurangan pada tahun lalu.

Kekurangan

Perlu diulas, bahwa sutradara dan seluruh awak panggung memang bekerja cukup keras untuk melahirkan karya yang menarik. Walaupun, tidak sedikit pula yang kurang maksimal mengolah unsur-unsur pemanggungan seperti akting, artistik seperti makeup, kostum, musik, dekor panggung, dan seterusnya. Bisa jadi disebabkan rentang waktu proses (latihan) yang singkat, membuat sutradara belum cukup waktu untuk membuat adegan-adegan dan lainnya “menjadi”.

Secara artistik, memang sedikit sutradara yang berhasil mengolah unsur-unsur dekorasi, makeup, kostum, musik, pencahayaan, dan seterusnya menjadi sesuatu yang berimbang dengan teks dan akting. Bahkan hanya beberapa grup saja yang berani bermain-main dengan set panggung. Cendrung grup yang tampil nyaris tanpa dekorasi dan lebih mengandalkan keaktoran semata.

“Sayang sekali, terlalu banyak sutradara yang takut bermain-main dengan unsur-unsur artistik. Kecendrungan yang saya tangkap, barangkali dikarenakan durasi 30 menit membuat sutradara tidak terlalu memikirkannya. Buat saya itu sangat merugikan sekali. Padahal mereka bisa memainkan simbol-simbol yang mewakili keinginan teks dan pemanggungan,” ulas Ade Puraindra, salah seorang juri asal Kota Rengat (Indragiri Hulu).

Sutradara muda jebolan ISI Jogjakarta itu menambahkan, para sutradara masih kelihatan takut, atau masih ragu-ragu untuk bermain-main dengan kerumitan-kerumitan. Akhirnya, terkesan masih banyak yang sekadar asal jadi. Padahal potensinya, jika digali lagi lebih mendalam akan menjadi sesuatu yang menarik sebagai tontonan.

Sementara itu, Hang Kafrawi dan Fedli Azis yang juga juri menjelaskan, hanya beberapa grup saja bisa dikatakan berani dalam mengambil pilihan artistik. Hal ini memang karena sutradara sudah biasa mengikuti festival atau lomba. Baik di kampus, sekolah, maupun tingkat umum.

Lebih jauh dikatakan mereka, masih banyak grup yang masih menurunkan aktor terlalu belia. Sehingga sutradara tak kuasa untuk menuangkan keinginan mereka atas kemampuan terbatas para aktornya. Bahkan, teks (naskah-naskah) yang diangkat belum kuat untuk dipanggungkan. Selain dramatug dan alurnya yang masih terlalu sederhana dan singkat.

Kelebihan

Menurut keseluruhan juri ada juga grup yang cendrung melakukan inovasi dalam hal pemanggungan. Meski teks cendrung berpola bangsawan, namun pemanggungannya justru melampaui teks yang diangkat. Sebut saja komunitas Kiblat dengan sutradara Salimi Yusuf asal Kita Rengat, dan Blacan Art Community (BAC) asal Kota Pekanbaru dengan sutradara Ekky Gurin.

Kedua sutradara ini memang melakukan inovasi dalam hampir  semua unsur. Akting maupun pilihan artistiknya. Kiblat Teater mengolah Randai Kuantan menjadi pertunjukan yang menyegarkan melalui permainan-permainan menarik. Bahkan unsur artistik menjadi lebih hidup dengan dekorasi memadai. Begitu pula BAC yang mengolah pola Drama Bangsawan Melayu menjadi pola karikatural dan fantasi. Meskipun, karya inovasi serupa itu tidak masuk dalam keinginan (tema) yang diangkat untuk ke tingkat nasional selevel Taman Mini Indonesia Indah.

Kelebihan tiga komunitas lain seperti Latah Tuah (UIN Susqa-Pekanbaru), Bulan Biru (Kota Bagan-Rokan Hilir), dan Pengat Production (Siak). Ketiga komunitas ini berangkat dari Drama Bangsawan meski masih bersifat konvensional. Dan sebagai karya terbaik dan akan mewakili Riau ke level nasional diberikan kepada Pengat asal Kota Siak.

Khusus untuk pemenang yang mewakili Riau, kelima dewan juri memberikan catatan khusus. Bahkan sutradara Pengat Wak Zul diberi masukan agar bisa mengolah lagi karyanya dari beberapa unsur sesuai keperluan pemanggungan yang diinginkan Taman Mini.***

Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook