Turun Mandi juga salah satu tradisi masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai. Istilah ini juga digunakan masyarakat di kabupaten lain seperti Kampar. Turun Mandi adalah salah satu cara orangtua memperkenalkan alam lingkungan kepada anak yang baru dilahirkan. Anak yang berumur sembilan hari dibawa ke sungai dan dimandikan dengan cara khusus.
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul
ORANG tua di Desa Cipang Kanan pada zaman dulu, atau sekitar tahun 90-an, masih melakukan tradisi ini. Sekarang sudah tidak lagi karena air Sungai Rokan sering naik. Tapi di desa lain seperti Cipng Kiri Hulu dan Hilir, masih dilakukan sebagian masyarakat.
Prosesi turun mandi diawali dengan membawa anak bayi berusia 9 hari ke sungai, tapi bukan oleh orangtuanya, melainkan oleh dukun yang melahirkannya. Karena ibu bayi, masih dalam keadaan belum begitu pulih.
Dukun menggendong bayi dengan kain panjang menuju sungai. Dukun juga membawa obor yang terbuat dari lampin (kain buruk) di tangan kanannya. Sedang tangan kirinya membawa payung hitam dan memayungi bayi tersebut hingga ke tepi sungai.
Sesampainya di sungai, dukun menyelonjorkan kaki dan bayi diletakkan di atas kedua kakinya. Obor yang dibawanya dijepit antara jari jempol dan ibu jari lalu dinyalakan. Saat itulah air sungai diusapkan ke bagian kepala bagian depan atau ubun-ubun bayi dengan diiringi doa yang dibacakan dukun. Doa itu yakni kalimat bismillah dan salawat sebanyak tiga kali.
Tradisi Turun Mandi menyimpan simbol dan makna yang begitu kuat. Kenapa bayi dimandikan di sungai, begitulah cara orangtua mengenalkan alam untuk pertama kalinya kepada anak, bahwa kehidupan manusia bergantung kepada alam, yakni air dan sungai. Air yang bersih, sungai yang mengalir, menjadi sumber kehidupan bagi manusia. Sang anak adalah pewaris yang menjadi tumpuan terbesar untuk menjaganya kelak.
Dengan air sungai yang dingin diharapkan anak akan lebih kuat dan kebal dengan kondisi di luar tubuhnya serta bisa berkembang dengan baik. Sedangkan obor yang dinyalakan sebagai simbol dan harapan agar sang anak akan jauh dari kegelapan dan terang serta cerah jalan hidupnya kelak setelah besar.
Sesampainya di rumah pula, sang anak sudah ditunggu orang banyak. Orangtuanya sudah mempersiapkan jamuan makan untuk tetangga kanan dan kiri. Begitu anak dimasukkan dalam buaian, para tetangga berdoa bersama untuk keselamatan sang anak. Doa dan makan bersama tetangga ini juga sebagai salah satu bentuk ucapan rasa syukur orangtua atas kehadiran anak yang merupakan karunia terindah dari sang pencipta.
Mak Janibar adalah dukun bayi paling terkenal di Desa Cipang Kanan. Sudah puluhan tahun menjadi dukun bayi, hingga sekarang. Usianya juga sudah lebih 65 tahun. Tidak terhitung jumlah anak lahir yang ditolongnya. Entah berapa pulak yang dibawanya ke tepian Sungai Tibawan untuk dimandikan. Jasa Mak Janibar tidak terbilang pada masanya.
Saat ini, masyarakat desa juga masih menggunakan jasa Mak Janibar. Masih banyak yang meminta tolong kepadanya, tapi tidak sendiri lagi seperti dulu, melainkan ditemani atau dibantu bidan setempat. Meski begitu, prosesi turun mandi yang dilakukan sejak nenek Mak Janibar yang menjadi dukun bayi, masih dilaksanakan hingga sekarang. Hanya cara dan bentuknya yang berbeda. Kalau dulu sang anak langsung dibawa ke tepian sungai, kalau sekarang cukup di halaman rumah saja.
"Dulu air sungai masih bersih. Sedang sekarang sering keruh. Kalau hujan di hulu, air besar dan keruh warnanya. Arusnya deras pula. Kalau anak dibawa ke sungai, takut terkena penyakit. Sekarang namanya Turun Mandi juga, tapi dilakukan di depan rumah. Pakai air bersih dan baskom bersih. Masih tetap pakai wewangian dan doa. Doa ini adalah harapan orangtua kepada sang anak," jelas Mak Janibar.
Kepiawaian Mak Janibar sebagai dukun bayi tidak diragukan lagi. Bakatnya menjadi dukun bayi diturunkan langsung oleh ibunya. Sedang bakat ibunya diturunkan oleh neneknya pula. Belajar secara alami menjadi dukun bayi memang tidak mudah, tapi kesungguhan dan ketulusan menolong sesama membawa berkah dan keselamatan bagi sang bayi.
Perlengkapan turun mandi
Meski prosesi turun mandi di Desa Cipang Kanan saat ini hanya dilkukan di halaman rumah, tapi tetap dengan semangat dan cara yang hampir serupa. Ramuan atau perlengkapan yang digunakan saat turun mandi juga beraga. Semua memiliki simbol, makna dan harapan yang luar biasa.
Ketika turun dari rumah menuju halaman, mak dukun menutup kepalanya dengan handuk. Sebagian ditutupkan ke kepalanya dan sebagian ke kepala bayi. Sedang bayi digendong dengan kain panjang. Tangan kanannya memegang perlengkapan bayi dan tangan kirinya memegang obor dari kain lampin yang kemudian di lempar ke tanah, arah kanan. Sebelum proses ini, mak dukun terlebih dulu melempar batu ke tengah halaman.
Piring berisi beragam perlengkapan seperti pinang di belah-belah, tembakau, sirih, kunyit, sabun mandi bayi dan sebilah pisau, sudah tersedia dengan rapi. Dalam mangkuk yang lain pula ada daun jeruk dan bedak bayi. Sebelum proses memandikan dilaksanakan, mak dukun membacakan doa dan salawat Nabi.
Mak dukun kemudian menancapkan pisau ke tanah. Di pisau itu pula ada kunyit yang ditusuk sebelumnya. Lagi-lagi mak dukun membaca salawat. Lalu ia membuka bedung bayi, mengusap kepala dan ubun-ubunnya dengan daun jeruk yang dicampur bedak. Kemudian kepala dan seluruh tubuh bayi disiram air dengan tangan.
Selesai mandi, mak dukun langsung meletakkan bayi ke dalam ayunan yang sudah disiapkan di dalam rumah. Sebentar saja, lalu diturunkan kembali. Ayunan ini pula tidak boleh diturunkan dan harus terus menghadap ke atas hingga tiga hari ke depan dengan harapan, masa depan sang anak akan terjaga dengan baik.***