(RIAUPOS.CO) - SEMENTARA itu di Instagram muncul gerakan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan RUU yang dideklarasikan oleh 200-an gabungan musisi di Jakarta dan di kota lain dalam jejaring sosial media. Dalam jangka kurang dari sepekan gerakan ini mencapai lebih dari 30 ribu postingan. Selain itu juga beredar petisi penolakan RUU Permusikan yang disebar melalui platform change.org, hingga tulisan ini dibuat sudah lebih dari 200 ribu tanda tangan.
Bagi Koalisi Nasional, setidaknya ada 19 pasal yang dianggap bermasalah. Bermasalah di sini karena potensi multi tafsir dari redaksi pasal-pasal tersebut. Contoh pasal 5 yang berbunyi: “Musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antarkelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya dan merendahkan harkat martabat serta martabat manusia”.
Bagi Koalisi Nasional, pasal ini berdampak pada kebebasan berekspresi musisi. Pada beberapa ayat dalam pasal 5 menggunakan kata seperti, “Menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi yang dianggap bias oleh Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca.
Menurutnya pasal ini membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. Padahal semangat kebebasan berekspresi dan berdemokrasi sudah diatur oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Apalagi pasal ini sudah diatur pada Undang-undang Pornografi, Undang-undang ITE. Terkait dengan pasal 5 ini, hukumannya diatur pada pasal 50 RUU Permusikan yakni, “Pelanggar akan dikenakan denda dan hukuman penjara”.
"Setelah bermacam pendapat yang mengarah pada penolakan ini, saya tertarik untuk membaca draft RUU Permusikan yang sudah beredar. Perhatian langsung tertuju pada Pasal yang mengatur penyelenggaraan pertunjukan musik, yang menjadi aktivitas saya setahun terakhir ini," ulas praktisi yang juga aktivis seni pertunjukan Riau Aristofani Fahmi.
Dipaparkannya, Pasal 18 RUU Permusikan mengatur pertunjukan musik yang mewajibkan dilaksanakan oleh penyelenggara pertunjukan yang memiliki lisensi sehingga mematikan penyelenggara pertunjukan musik independen yang mulai bermunculan.
"Pasal ini jelas berimbas pada kegiatan-kegiatan yang diselengarakan oleh Begawai Institute (Riau) yang belum memiliki lisensi meskipun sedang berusaha melengkapi badan usaha sebagai penyelenggara perhelatan seni," ujarnya yang juga pengurus Begawai Institute.