Dapat dipahami penolakan besar-besaran terhadap RUU Permusikan ini diakibatkan pemilihan kata yang bias, ambigu, dan multitafsir. Hal ini terlihat pada pada pasal 1 yang juga terkait dengan pasal 45. Kedua pasal ini menggunakan kalimat, “Musik yang utuh”. Kata “Utuh” kemudian menemui persoalan jika dihadapkan pada standar musik yang utuh itu seperti apa.
Karya musik yang bersifat luas tentu saja menciptakan beragam gaya tergantung pengkarya. Kebebasan ataupun keliaran imajinasi komposer akan berbenturan dengan defenisi “Utuh”. Hal ini disebabkan terdapat karya musik yang diciptakan dengan semangat, “Seenaknya” melanggar konvensi, aturan umum seperti bentuk, struktur. Tidak ada batasan untuk hal ini.
Terkait dengan pasal di atas, Pasal 40 mengatur standarisasi nilai artistik dan intelektual karya musik. Kembali lagi bahwa nilai artistik suatu karya seni tidak memiliki aturan baku. Perkembangan wacana dalam kekaryaan menempatkan karya musik pada dimensi relatif. Indah suatu karya musik bagi seseorang, bisa dinilai buruk bagi orang lain. Intelektualitas dalam karya musik, apalagi! Pengalaman sepanjang menjadi penonton musik ataupun karya seni lain, unsur intelektual suatu karya musik berjalan berdampingan dengan keluasan wawasan penonton.
Keluasan wawasan penonton ditentukan seberapa kritis sikap kita dalam menonton. Sementara itu, sikap kritis ditentukan oleh kemampuan membaca “Teks” dan “Konteks” karya seni yang ditonton.
Sebagaimana yang dilansir Koalisi Seni Indonesia, proses Rancangan Undang Undang Permusikan ini dimulai sejak Maret 2015 lalu di Komisi X DPR RI. Dasarnya adalah kegelisahan para pemangku kepentingan industri musik tentang implementasi UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang belum memihak keberlangsungan industri musik.