Hal di atas juga berkait dengan pasal 19 yang mengatur pertunjukan musik yang menampilkan musisi internasional. Bahwa penyelenggara pertunjukan musik internasional diwajibkan menampilkan musisi Nasional lokal sebagai pendamping. Tentu saja hal ini tidak sederhana sebab ada pertimbangan tersendiri mengenai hal ini.
Pasal yang paling mendapat sorotan adalah pasal 32 yang mengatur uji kompetensi bagi para pelaku musik. Pasal ini berbunyi : “Untuk diakui sebagai profesi, pelaku musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi”. Pasal ini akan berdampak pada musisi tradisional dan musisi indie yang mayoritas dipelajari secara alamiah.
"Pertanyaannya adalah kompetensi apa yang akan diuji bagi musisi tradisional, kemudian siapa yang berwenang untuk menguji?
Pasal di atas mengingatkan pada penolakan seniman Eros DJarot terhadap upaya Alm. Franky Sahilatua mengenai sertifikasi seniman beberapa tahun lalu," ujar musisi yang tergabung dalam grup Riau Rhythm Chambers Indonesia (RRCI) ini.
Bagi Djarot, siapa yang berhak atau berwenang menguji kompetensi kesenimanan seseorang, ukurannya apa? Selain itu uji kompetensi ini akan menjadi lahan korupsi baru bagi pihak-pihak yang tujuannya hanya untuk mengejar sertifikasi saja. Tinggal bayar, sertifikasi dapat!
Selain Koalisi Nasional, di Jogyakarta muncul Masyarakat Musik Jogya yang terdiri dari Musisi, Penikmat Musik, dan Seniman Seni Pertunjukan lainnya yang berkarya dengan musik. Gerakan ini menilai ada 79 Pasal yang bermasalah dalam RUU Permusikan ini. Selain juga 16 pasal yang dimasalahkan oleh Koalisi Nasional, Masyarakat Musik Jogya lebih detail pada unsur yang lebih luas terkait permusikan, yaitu tidak dilibatkannya Pertunjukan Tari, Teater atau seni lain yang berkolaborasi dengan Musik. Pasal ini menempatkan musik hanya sebatas “konsumsi” belaka sehingga unsur-unsur kolaborasi dengan cabang cabang seni lain diabaikan.