USTAD ABDUL SOMAD

Pukau UAS dan Syair "Dikau"

Seni Budaya | Minggu, 09 Agustus 2020 - 09:36 WIB

Pukau UAS dan Syair "Dikau"
UAS membacakan syair berjudul "Dikau".(kiri)Dheni Kurnia membaca puisi(kanan)

Syair dan dakwah menggelegar di langit-langit Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT) Pekanbaru ketika Ustad Abdul Somad (UAS) tidak hanya membacakan ayat-ayat Alquran, tapi juga membacakan syair-syairnya yang dahsyat. Pemandangan yang tak biasa ini terjadi dalam helat Taman Budi, Kamis (6/8) malam.

(RIAUPOS.CO) - Syair yang syarat makna ini dikarang oleh UAS sendiri. Ia membacakannya dengan sangat sederhana. Tapi, seperti air yang mengalir di sungai, kelembutan dan keteduhan syair yang syarat makna serta pesan kepada umat itu juga mengalir deras dalam hati dan pikiran setiap orang yang mendengarnya malam itu. Syair itu berjudul "Dikau".


DIKAU
Ku sangka kau lambat, rupanya sangat cepat
Ku sangka kau jauh, rupanya sangat dekat
Ku sangka kau lupa, rupanya selalu ingat
Ku sangka kau salah, rupanya kau selalu tepat
Ku sangka kau lemah, rupanya kau kuat
Ku sangka kau lembut, rupanya kau menyengat
Kau datang secepat kilat

Kau memang luar biasa
Kesedihan berakhir saat kau tiba
Duka lara pun ikut sirna
Nestapa dibawa serta
Risau hati dan luka-luka
Lenyap kau bawa bersama
Kau harapan akhir bagi mereka yang putus asa

Saat kau datang dalam gelap
Kata-kata menjadi gagap
Hati membuncah tiada terungkap
Yang terbayang khilaf dan silap
Nafas sesak terasa megap
Dunia lapang tapi tak telap mengungap
Kau ubah yang lezat jadi tak sedap

Saat kau datang
Tanpa bayang-bayang
Yang berkuasa tumbang
Yang kaya raya hilang
Yang gagah perkasa melayang
Senyap senyap kau terbang
Tanpa ada yang bisa menghalang

Ruh pun keluar meninggalkan diri
Rasa sakit tiada terperi
Bak tebasan pedang beratus kali
Binatang mendengar hingga sanubari
Kalau pernah zikir bersemayam dalam hati
Itulah yang terngiang di telinga kanan dan kiri
Lidah bergerak menyebut Robbul-’izzati

Tinggallah padi sedang menguning
Tinggallah perigi berarir bening
Tinggallah baju hijau, merah dan kuning
Tinggallah kawan dekat dan yang asing
Tinggallah semua permainan hingga gasing
Ti nggallah luka, sakit dan kepala pusing
Semua diurus masing-masing

Jasad tiada bergerak
Orang ramai mulai datang berdesak-desak
Ada yang menangis terisak-isak
Ada pula sibuk kusuk-kasak
Ada yang sedih banyak yang purak-purak
Orang berbuat kita tak mampu menolak
Jatuh tanda buah sudahlah masak

Jasad pun terbujur
Diarak ke tepi kubur
Anak menantu menangis menjulur
Kawan dekat tak dapat menghibur
Hanya amal yang paling jujur
Istighfar menjelang sahur
Membuat dosa menjadi gugur

Satu persatu mereka pulang ke rumah
Hubungan dekat berakhirlah sudah
Yang dulu baik sekarang tak lagi ramah
Cinta kasih hanya tinggal sejarah
Kalau pernah membentang sajadah
Bersedekah agak sezarrah
Malam pertama di alam barzakh

Mereka mulai menghitung-hitung
Berapa warisan setinggi gunung
Berebut hingga sampai ke payung
Anak bingung menantu menggunggung
Rumah dibagi dijual langsung
Emas di peti tak lagi terkurung
Kita tetap dikunyah belatung

Andai dulu membina masjid
Andai dulu menolong orang sakit
Andai dulu hidup berpahit-pahit
Supaya ditolong saat terbelit
Andai berjihad luka di kulit
Sebelum alam kubur menjepit
Tiada lagi guna emas dan ringgit

Waktu sehat tak mau menolong
Waktu berkuasa, sombong
Waktu dipercaya, bohong
Duit tak keluar dari kantong
Ke maksiat condong
Korupsi begotong royong
Sekarang jasad terpotong-potong

Di alam barzakh berzaman-zaman
Nama besar tak jadi ingatan
Kuasa tak jadi jaminan
Yang kekal hanya iman
Anak cucu berkirim doa selamat dan Yasinan
Liang kubur menjadi taman
Doa bersahut menjelang azan

Malaikat datang membawa doa
Dari tuan Taufiq Ikram Jamil dan Aris Abiba
Tuan Samsudin Adlawi berkirim fatiha
Ada Qulhu dari Eko Ragil al Rahman dan Deni Kurnia
Doa tuan Syaukani Karim di kala senja
Puan Juliana menabur bunga
Tanda bersahabat hingga ke akhir masa

Kalau Babah pergi nanti
Jangan bersedih berhari-hari
Kita pasti bersua lagi
Di dalam surga bersama Nabi
Kalau hinggap susah di hati
Hadapkan diri pada Ilahi
Ucapkan di lidah dan hati ya Robbi

Syair yang cukup panjang tapi terasa singkat. Meski sederhana, tapi UAS membacakannya dengan intonasi, ekspresi dan penghayatan yang luar biasa. Suasana di dalam gedung pertunjukan itu semakin hening. Tidak ada suara apapun. Semua yang hadir mendengar dengan khidmat. Begitu syair usai dibaca, penonton bertepuk tangan dengan gembira. Begitu juga para penyair yang hadir, merasa terbela dan semakin bangga. Bahwa syair yang saat ini terus berkembang menjadi puisi, juga jalan dakwah untuk menyampaikan kebajikan secara luas. Sungguh luar biasa.

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook