PERISA - YUSMAR YUSUF

Air Mata Spiritual

Seni Budaya | Minggu, 08 April 2018 - 11:01 WIB

Air Mata Spiritual

Kita adalah percikan Ilahi dalam busana manusia, kata Frager. Dan manusia adalah makhluk spiritual, yang dahaga dengan peristiwa memanjat ke nan tinggi, ke nan kudus, ke nan luhur dan memucuk. Secara fisik, sebagian besar  manusia bisa tampil amat manusiawi, namun di dalam diri mereka terhampar kebun-kebun binatang dengan keliaran-keliaran tak terpemanai. Tasawuf menghampiri manusia dalam dimensi ruh yang dibagi-bagi sejak dari ruh mineral, ruh tumbuhan, ruh hewaniah, ruh nafsani, ruh insani, ruh rahasia dan ruh maha rahasia. Ruh-ruh dan tingkatannya ini hanya bisa didatangi melalui kunci utamanya bernama hati. Dan hati adalah “kuil Tuhan”. Dia adalah ‘rumah suci” tempat Tuhan beristana. Ketika manusia dengan ragam agama dan kepercayaan membangun rumah-rumah suci menurut keyakinan mereka, maka muncul Masjid, Gereja, Kuil, Vihara, Wat, Sinagoge, Candi dan seterusnya. Ini adalah sejumlah rumah suci yang dicipta dan dibangun oleh manusia, demi melayani percikan ilahiah itu. Namun, Tuhan membangun “istanaNya” di dalam dan lubuk hati manusia. Jika seseorang merusak hati orang lain, mematah dan menyinggung hati orang lain, sama halnya kita merusak “rumah suci” Tuhan itu. Kuil suci itu dititip dalam peristiwa penciptaan, yang mengisyaratkan simbol fonetis Kaf dan Nun (Kun); Kaf mewakili Kamal (sempurna) dan Nun mewakili Nur atau cahaya. Dan hati manusia adalah sumber cahaya spiritual itu sendiri.   

Hati, demikian kata Robert Frager, menyimpan kecerdasan dan kearifan kita yang terdalam. Ia adalah lokus makrifat, gnosis, atau pengetahuan spiritual. Cita-cita para sufi adalah menumbuhkan hati yang lembut dan penuh kasih sayang, dan juga menumbuhkan kecerdasan hati. Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang sempurna di atas kecerdasan abstrak yang dijunjung selama ini sebagai kecerdasan akal. Tersebab, hati adalah kuil Tuhan, maka para sufi (dalam dunia tasawuf) mencoba dan mengingat untuk memperlaku orang lain dengan kebaikan dan penghormatan. Cinta adalah dasar disiplin spiritual sufi lainnya. Dan rumah cinta itu adalah hati.

Baca Juga :Unri Sepakat Adopsi Anak Bernama AI, ChatGPT Turut Dibahas

Kejadian manusia dan kaitannya dengan tugas Jibril (Gabriel). Jibril mengambil empat jenis air untuk dituangkan ke masing-masing liang; tenggorokan dituang air tawar, rongga mata dituang pula air masin, liang telinga dituangkan air pahit dan liang hidung dituangkan pula air busuk. Kegunaan setiap jenis air dan penempatannya berfungsi sebagai “pertahanan diri” manusia. Lubang kuping yang senantiasa terbuka di dua sisi, tidak akan dimasuki jenis unggas terbang dan melata, karena dihalau oleh air pahit yang berada di dalam liang itu. Demikian pula, air busuk yang berada di rongga hidung kita, juga berfungsi sama, sekaligus kita bisa mengenal bau-bauan atau aroma. Air tawar yang ada di dalam tenggorokan, berfungsi untuk menyudahi haus dahaga bersifat sementara dengan cara meneguk liur ke dalam tekak. Demikian pula air asin yang terselip di liang mata, berfungsi membangun kesadaran tentang peristiwa, kesadaran spiritual, sekaligus menolak segala jenis makhluk memasukinya. Air asin di kelopak mata ini berhubung langsung dengan suasana hati sebagai Kuil Tuhan itu.

Alangkah malangnya orang yang tak bisa dan tak pernah menangis. Karena dia tak bisa merasakan bagaimana asinnya air mata. Air mata, adalah simbol dari kebijksanaan manusia. Ketika ragam peristiwa baik sedih, duka maupun gembira ria, sampai pada puncaknya, air mata akan berderai. Orang pun mengenal sebagai tangis duka, sekaligus ada pula tangis suka cita. Terkadang bauran antara duka dan suka juga mengundang jatuh air mata. Alexis Carel menyebut: “Kebijaksanaan adalah ibarat lampu mobil yang menyoroti jalan. Dan cinta laksana mesin yang menggerakkannya”. Keduanya saling melengkapi agar menjadi apa-apa. Motor tanpa lampu adalah cinta buta, berbahaya, tragis dan mengandung maut, ujar Ali Shariati. Agar senantiasa tak buta, kaum sufi lewat para darwis dan Syaikh, berkeyakinan senantiasa untuk mengasah hati agar tak majal, senantiasa tajam secara spiritual dan bisa mengenal secara baik apa tekstur dan keindahan yang dihidang oleh sebuah tangis.

Ketika kehilangan kata-kata, bahasa tak muncul lewat baris dan ucapan. Ketika berduka dan berada di puncak rundung terdalam, manusia kehilangan kata. Tiada lagi puisi dan prosa. Yang ada hanya kebimbangan, ketakutan, kegalauan dan sejenis itu. Semua jenis ini mematikan dan menghentikan kata-kata. Dipaksakan berkata, dia bahkan jadi terbata-bata. Antara kata dan bata, lebih molek manusia menggunakan air mata. Ini juga sebuah kebijaksanaan. Air mata ialah bahasa yang paling sederhana, untuk menjelaskan perkara yang maha kompleks. Rupanya untuk menjelaskan kompleksitas, manusia memerlukan cara-cara yang amat sederhana. Tak perlu rumus dan formula dengan teoresasi tinggi dan menjulang. Berikut ini saya kutip kata bijak dari Ali Shariati mengenai air mata: “Adakah bahasa yang lebih sederhana, lebih murni, lebih tidak munafik dari pada air mata, bahasa tanpa kata-kata, bahasa tanpa baris? Setiap unsur darinya adalah jeritan pedih, jeritan dari pencinta yang berhasrat”.

“Bukankah benar bahwa mata lebih mengungkapkan kebenaran daripada lidah? Bukankah air mata adalah syair yang terindah dan cinta yang paling hangat? Tidakkah air mata mencerminkan iman yang paling melimpah, hasrat yang paling mendalam, perasaan yang paling bergelora? Bukankah air mata bentuk bicara yang paling murni dan bentuk cinta yang paling halus?” Ujung dari tulisan ini, saya  buhul pula satu kutipan dari sang revolusioner Prancis Regi de Bre; “Orang yang tak pernah menangis dan tak pernah tahu bagaimana menangis, tidak mempunyai perasaan manusiawi. Ia tak lebih dari sebongkah batu, suatu roh yang liar dan kering”. Dia sebongkah mineral yang kaku dan tak bergerak. Hanya etakat ruh mineral. Tasawuf sebuah jalan air mata.

Suatu ketika, beberapa orang menghina Yesus. Namun Yesus (nabi Isa) membalasnya dengan mendoakan mereka. Seorang murid bertanya, “Mengapa engkau berdoa untuk mereka? Tidakkah engkau marah atas perlakuan mereka? Yesus menjawab: “Aku hanya dapat membelanjakan apa yang aku miliki di dalam dompetku”. Dan satu cogan kuno Turki yang elok dipetik: “Siapa yang berdiri dengan kemarahan, akan duduk dengan kerugian”. Kemarahan tak perlu dirasionalisasi. Maka peliharalah hati demi merawat air mata.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook