Realitas Kekinian dalam "Padang Perburuan"

Seni Budaya | Minggu, 07 Oktober 2018 - 13:44 WIB

Realitas Kekinian dalam "Padang Perburuan"
MENUJU PTN: "Padang Perburuan" produksi Lembaga Teater Selembayung menuju Pekan Teater Nasional (PTN) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

(RIAUPOS.CO) - RABU (10/10) pukul 16.00 WIB, Lembaga Teater Selembayung (Riau) tampil dengan karya terbarunya berjudul, “Padang Perburuan”. Karya berdurasi 40-50 menit itu didedahkan pada perhelatan, Pekan Teater Nasional (PTN) di Graha Bakhti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Teater Selembayung sendiri merupakan satu dari 16 komunitas teater dari 15 kota di Indonesia yang ikut meramaikan helat tajaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 6-14 Oktober di Jakarta. Seluruh komunitas tersebut adalah pilihan karena sebelumnya telah melewati kurasi dari para kurator yang berkompeten. Khusus Sumatera, hanya empat komunitas dari empat kota yang lolos seperti Lembaga Teater Selembayung (Pekanbaru-Riau), Teater Sakata (Padangpanjang-Sumbar), Teater Rumah Mata (Medan-Sumut), dan Komunitas Berkat Yakin/ Kober (Lampung- Bandar Lampung).

Baca Juga :Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

Karya “Padang Perburuan” yang ditulis dan disutradarai Fedli Azis ini, sebelumnya pernah ditampilkan pada helat Ajang Teater Sumatera (ATS) II, 2017 silam. Namun karya tersebut diproduksi kembali dengan konsep dan pemanggungan yang berbeda jauh. Kali ini, karya yang dimainkan lima aktor Teater Selembayung seperti Fatmawati, Siti Aminah, Azsa Nurkhairunisa, Aditiya Hariyadi, dan Ifan Kurniawan Putra ini, berangkat dari silat (Silek Tuo) dan sastra lisan basijobang yang masih bisa dinikmati hingga hari ini di Kabupaten Kampar.

“Kami sudah menjalani proses dan berlatih selama beberapa bulan belakangan ini. Letih, plus mengasyikkan sekali. Semoga saja di PTN nanti, karya “Padang Perburuan” yang spiritnya kami angkat dari esai budayawan Riau, UU Hamidy, dengan mengambil sample kasus pembangunan waduk raksasa PLTA Koto Panjang di Xlll Koto Kampar, Riau ini mendapat apresiasi dari penikmat seni di Jakarta,” ungkap Fedli Azis disela-sela latihan, Jumat (5/10) lalu.

Dijelaskan Fedli, pada “Padang Perburuan” ini, mengisahkan tentang masyarakat yang terdampak langsung pembangunan waduk itu. Penggambaran disampaikan dengan dua bahasa, verbal dan tubuh. Karenanya, dalam karya tersebut dapat dilihat dan dirasakan nuansa silat (silek tuo) dan basijobang (sastra lisan) Kampar menjadi lebih dominan. Gerakan dari bunga silek tuo dieksplorasi sedemikan rupa untuk keperluan artistik pemanggungan. Begitu pula basijobang, sehingga tidak lagi  original.

Untuk bunga silek tuo sendiri, dipelajari dari seorang guru silat di Kampung Muaratakus, Suhaimi Zein alias Ongku Imi. Gerakan yang sederhana namun cukup menyentak itu membuka peluang untuk dikembangkan menjadi ‘sesuatu’ yang berbeda tanpa meninggalkan spirit silat itu yang tidak bersifat mematikan. Silat itu, secara filosofi lebih mengutamakan untuk mengingatkan musuh, bukan melumpuhkan hingga musuh menjadi cedera bahkan mati.

“Kami turun langsung ke Muaratakus untuk mempelajari silat tersebut. Selain itu, berdiskusi dan mewawancarai warga di sana untuk lebih menyelami kondisi psikologi masyarakat yang mengalami dampak buruk pembangunan PLTA Koto Panjang. Yang paling memprihatinkan, pembangunan waduk itu menenggelamkan 10 kampung (situs) sejarah. Namun setelah waduk itu jadi, setahun bisa dua hingga tiga kali ratusan kampung akan tenggelam akibat banjir musiman. Sebab waduk tak mampu menampung air yang begitu besar,” ulas Fedli.

Lebih jauh dikatakannya, jika air naik, maka pihak pengelola waduk akan memberikan peringatan kepada warga agar segera mengungsi untuk sementara waktu. Pintu air akan dibuka ditandai dengan pengumuman dari kampung ke kampung, juga membunyikan serinai sebagai tanda bahaya. Sejak 26 tahun pembangunan waduk itu, warga tidak mendapatkan manfaat apapun, selain kerugian secara mental (psikis) maupun materil. Meski kampung mereka ditenggelamkan dan seluruh warga dipindahkan ke pinggang Bukitbarisan, namun banjir tak jua bisa dihindari.

“Karya ini kami dedikasikan untuk masyarakat umum, terutama masyarakat Xlll Koto Kampar. Mudah-mudahan bisa memberi kesan dan pesan yang disampaikan bisa diterima publik secara luas,” kata Fedli meyakinkan.(kun)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook