MENYAKSIKAN Godi Suwarna, penyair Sunda, menampilkan puisi berbahasa Sunda-nya pada helat Kongres Kesenian Indonesia III (1-5 Desember), saya jadi iri. Bukan iri karena tidak sempat baca puisi malam itu, tapi iri karena tiba-tiba saya merasa tidak punya “bahasa daerah”. Sebagai penyair yang lahir di tanah Melayu Riau—yang bahasanya disumbangkan sebagai bahasa (semua orang Indonesia)—saya meresa (kadang), alangkah bebasnya para penyair yang memiliki (keragaman) bahasa daerahnya masing-masing. Bebas berekspresi melalui puisi, baik dalam teks maupun gaya pemanggungannya.
Apakah dengan begitu, berarti para penyair Melayu tidak bebas berekspresi? Saya pikir, tentu tidak sepenuhnya begitu. Tantangannya yang mungkin berbeda. Mereka yang memakai bahasa daerah dalam berpuisi, tentu tak boleh sekedar “memanfaatkan” yang sudah tersedia, tapi juga harus menggalinya. Agar, puisi yang lahir, bukan “puisi masa lalu” tapi “puisi masa kini.” Bukan puisi yang “diam” tapi puisi yang “bergerak.”
Dan memperbincangkan apa itu “masa kini” adalah perbincangan yang tak pernah selesai. Sebab ia seperti sebuh bandul jam yang bergerak, yang sulit menandai pada detik-detik mana ia berhenti sebagai yang “kini” dan detik-detik mana pula yang ia tinggalkan sebagai masa “lalu.” Sebab rupanya, yang ditinggalkan itu, dalam detik-detik yang tak terlalu lama, kembali didatangi—entah sebagai yang “lama,” atau sebagai yang “baru.”
Maka seperti pertanyaan Afrizal Malna (dalam makalahnya di Kongres Kesenian Indonesia), ”siapakah masakini itu?” kita semua seolah tengah juga bertanya, “sedang di manakah kita kini? Saya malah kadang merasa, kita seperti berada dalam dunia yang tidak bergerak, dunia yang bolak-balik dari yang lalu dan yang kini. Seperti halnya bandul jam itu juga, memang bergerak, tapi bergerak pada siklus yang sama, alur yang serupa. Puisi-puisi kita yang lalu, hadir di masa kini seolah sebagai sosoknya yang bertumbuh, seperti seorang bayi yang menginjak dewasa. Pada saat yang lain, puisi-puisi kita seolah seperti menyusut dari yang “besar” ke yang “kecil.”
Ini, agaknya memang bukan sekedar ihwal waktu (masa lalu dan masa kini), tapi juga soal ruang, sebagaimana yang disebut dalam konsepsi Bellow pun Kernodle (dalam teater) sebagai the nowness and the hereness. Kekinian dan kedisinian itu adalah sebuah proses konkretisasi dari sebuah sudut pandang menuju a unity of time. Dan akhirnya, memang sudut pandanglah yang membuat apa yang disebut sebagai “masa kini” itu diterima sebagai proses kebertumbuhan, bukan penyusutan.
Dalam konsepsi semacam itu, puisi “masa lalu” tidak lebih “buruk” dibanding dengan puisi “masa kini.” Sebab, sebagai entitas yang terus tumbuh, ia mengalami fase-fase ruang hidup yang berbeda. Dan sudut pandang, harus dilihat, dalam tiap fase pertumbuhannya itu. Dan jangan lupa, setiap fase itu, memiliki masa puncak. Masa di mana, bandul jam berada di titik batas, dan harus berbalik untuk mencari titik batas yang lain.
Lalu, puisi yang lahir sebagai “puisi masa kini” itu tak bisa diidentifikasi dari “kini” sebagai waktu saja, tapi juga di situ ada “ruang”, ada tempat di mana waktu (“kini” itu) bergerak. Dan ruang, jadi sempit atau luaskah dia, adalah soal sudut padang. Soal, bagaimana meletakkan puisi berbahasa daerah, misalnya, sebagai puisi “masa kini.” Pun, soal, bagaimana meletakkan puisi (berbahasa) Indonesia, tidak sebagai puisi yang seolah kehilangan identitas (keberagamannya). Sebab, rupanya, sebagai orang yang menulis dengan bahasa Indonesia, saya juga sedang merasa menjadi orang Melayu, dengan identitas khasnya pula.***