(RIAUPOS.CO) - Lembaga Teater Selembayung kembali mementaskan karya terbaru berjudul, “Padang Perburuan” untuk ketiga kalinya. Karya yang terinspirasi dari esai budayawan Riau UU Hamidy itu siap meramaikan helat Silek Art Festival - Indonesiana, 19-22 November ini di kampus ISI Padangpanjang, Sumbar.
Karya yang ditulis dan langsung di sutradara Fedli Azis ini mendapat apresiasi dari kurator teater Silek Art Festival Yusril Katil. Apalagi karya yang sebelumnya dipentaskan pada helat Pekan Teater Nasional (PTN), 10 Oktober di Jakarta dan Gondang Art Festival (Sendayung), 27 Oktober di Lipatkain, Kampar ini, memang memilih silat sebagai pilihan artistik-nya. Gayung bersambut, karya ini pun langsung lulus seleksi menuju Silek Art Festival 2018.
“Dijadwal yang dikirim panitia, kami akan tampil pada 20 November malam di gedung Huriaadam kampus ISI Padangpanjang. Mudah-mudahan audiens di sana terkesan sebab dalam karya ini, kami mengambil sampel kasus dampak negatif pembangunan PLTA Koto Panjang yang dirasakan masyarakat Riau dan Sumbar,” ulas Fedli, disela-sela sesi latihan, Sabtu (2/11) lalu di Taman Budaya Riau.
Karya “Padang Perburuan” sendiri dimainkan lima aktor/aktris seperti Siti, Nena, Ica, Adit, dan Ifan. Sedangkan komposer dan pemusik dipercayakan pada komposer Fabri Hengki dan pemusik serta vocal Giring. Sedangkan dokumentasi dan videografi dipercayakan pada Indra Gondrong, dengan pimpinan produksi Rina NE.
Dalam karya tersebut, selain menghadirkan bunga silat tua (silek tuo Mutakui/ Muaratakus) yang langsung dilatih Suhaimi Zen (ahli waris Kedutuan Mutakui), juga menghadirkan sastra lisan Kampar, Basijobang. Kedua unsur budaya tersebut kemudian dieksplorasi (diolah) untuk keperluan pemanggungan Padang Perburuan. Sehingga kedua unsur tradisi tersebut mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kekinian. Namun spirit-nya sangat terasa kental.
“Kami mengolah gerak dari bunga silek tuo dan basijobang untuk keperluan pemanggungan. Palingtidak, kedua unsur itu membuat karya ini, bagi kami terasa mengasyikkan,” tambah Fedli.
Lebih jauh dijelaskannya, Padang Perburuan ini seperti mengangkat ‘batang terendam’. Maksudnya, kasus penenggelaman 10 kampung untuk pembangunan PLTA Koto Panjang di XIll Koto Kampar ini sepi dari pemberitaan. Hanya segelintir orang yang mengetahui informasi tersebut. Padahal, saat pembangunan direncanakan pada 1990-an lalu, akan menenggelamkan situs tua di Sumatera yakni Candi Muaratakus. Untunglah saat itu, masyarakat Jepang, aktivis lingkungan dunia, dan masyarakat terdampak langsung melakukan protes pada pemerintah Indonesia serta Jepang.
“Jika tidak ada protes pada saat itu, maka kita dan generasi akan datang tidak akan pernah melihat, bahkan mengenal lagi Candi Muaratakus. Bayangkan, candi tua di Indonesia itu saja akan ditenggelamkan,” ulas Fedli.(kun)