ESAI SASTRA

Budaya dan Propaganda Penguasa

Seni Budaya | Minggu, 03 Januari 2016 - 00:15 WIB

Sedangkan film 12 Years a Slave yang diangkat dari novel klasik karya Solomon Northup (1853) mengingatkan kita pada karya sastra berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” hasil buah pena Pramoedya Ananta Toer, yang keberadaannya terus membuat polemik di kalangan seniman Indonesia hingga hari ini. Ironisnya, sastra psiko-histori yang kemudian diakui dunia dan diterjemahkan lebih dari 40 bahasa itu justru terhambat publikasinya di negeri sendiri. Hal itu dikarenakan memang tidak sedikit seniman dan budayawan kita yang tersusupi doktrin penguasa yang berpretensi menilai karya tersebut sebagai “biasa-biasa saja”.

Tetapi ketika dipahami motif politik di balik pembentukan citra buruk terhadap figur Pramoedya, serta seniman yang menolak untuk membahas karya-karyanya, ternyata mereka itu tak lepas dari kepentingan-kepentingan big business dan big industry yang seakan tidak menghendaki memasyarakatnya nilai-nilai keindonesiaan kita. Hal ini sudah diprediksi pula oleh penulis novel “Perasaan Orang Banten” dan “Pikiran Orang Indonesia” yang karya-karyanya dihambat dari sisi pemasaran, dan tak lepas dari unsur sentimen pasar, di samping faktor kedekatan penulis muda Banten itu dengan sosok Pramoedya Ananta Toer.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Tetapi setiap penulis dan sastrawan yang memegang-teguh prinsip dan jati-dirinya, tentu akan tetap tegar dan berani mengambil risiko “dimusuhi” oleh kepentingan status quo (neo-kolonialisme). Di sini penulis pun ingin menyumbangkan bantuan morilnya agar tetap yakin dan sabar, karena kreasi-kreasi kalian ibarat memintal benang untuk kain-kain terpilih, hingga pada waktunya sejarah terus bergerak dan melangkah menuju Anda. Selamat berjuang!***

Divani Aisyahara, mahasiswi Universitas La Tansa Mashiro, Banten.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook