ESAI SASTRA

Budaya dan Propaganda Penguasa

Seni Budaya | Minggu, 03 Januari 2016 - 00:15 WIB

Dan sebagian seniman pun tak terke cuali, terperosok dalam jenis sastra absurd yang menjadi anutan, terperangkap oleh kegersangan dan ketidakadilan sistem yang diselenggarakan political will selama ini. Bagaimana mungkin mereka dapat nyaman berkarya secara independen, pada saat gurita kapitalisme mengepung keseharian hidup mereka. Bagaimana mungkin mereka sanggup berinovasi secara kritis, kecuali individu-individu yang punya keberanian melawan arus, tekun meneliti dan melanglang buana tanpa batas, serta menembus sekat-sekat primordialisme.

Di dunia perfilman yang merupakan alat diplomasi tersebut, kita bisa melihat bagaimana karakter militerisme Indonesia dibongkar dan ditelanjangi secara serius dalam film The Look of Silence (Joshua Oppenheimer), yang merupakan ciri khas dari tren seni post-modern, agar kebudayaan suatu bangsa sanggup membaca-diri, sadar diri, melangkah menuju metamorfosis untuk suatu jaman pencerahan (aufklaerung). Film ini bukan hanya bi cara soal perikemanusiaan tetapi juga rekonsiliasi (ishlah) untuk mencipta pera daban baru yang lebih damai dan terbuka. Hikmah yang terkandung di dalamnya seakan mengajarkan kita untuk “rujuk” dan berdamai dengan masalalu, hingga kita menjadi enteng dan ringan untuk melangkah ke masadepan (baca: “Pikiran Orang Indonesia”, Fikra Publishing, Jakarta, 2014).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Perbincangan yang terus dipersoalkan kalangan intelektual Amerika saat ini adalah, bagaimana mungkin seorang sutradara yang lebih cenderung pada ideologi sosialisme (begitupun film 12 Years a Slave) bisa masuk dalam kategori perfilman bergengsi, bahkan digolongkan dalam jajaran Oscar yang merupakan penghargaan tertinggi dalam insan perfilman dunia. Di sinilah pangkal persoalannya, bahwa di era post-modern ini semua orang berhak memihak kepada siapa yang lebih mumpuni dan dipercaya, tidak lagi mempersoalkan sekat-sekat ideologis. Sekarang bukan zamannya lagi ribut-ribut soal mazhab atau aliran apa seseorang punya anutan. Tetapi masyarakat dunia hanya akan bertanya seberapa besar kemaslahatan seseorang bagi pembangunan peradaban umat.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook