Oleh Divani Aisyahara
Di hadapan panitia Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2015 ini, Gubernur Banten Rano Karno sempat memberikan statemennya bahwa dunia film merupakan alat diplomasi kebudayaan pada suatu bangsa. Secara implisit ia pun menggugat karya seni kita yang selama ini terlampau bermain di wilayah emosi hingga membuat pemirsanya hanyut ke dalam kepentingan politis, tidak sanggup berdiri untuk mengambil jarak dari fenomena yang ada. Masyarakat belum mampu bersikap layaknya seorang peneliti atau sosiolog yang memantau suasana kehidupan yang meliputi ruang-waktu, seakan mereka tampil selaku subyek yang hanya berimajinasi dalam pembenaran hipothesis semata.
Misalnya penayangan berpuluh tahun, film pesanan rezim yang berkuasa dengan judul “Pengkhianatan G30S/PKI”. Dari judulnya saja nampak kepentingan politis yang menunggangi dunia seni, sehingga berkutat dalam logika keras dan saklek tanpa hatinurani, hanya mementingkan ego berkesenian yang bersandar pada pernyataan politik dan bukan pernyataan ilmiah. Akibatnya muncullah kebijakan politik yang dikunyah masyarakat sebagai “ekstrim kiri”, kemudian muncul lagi tuduhan baru sebagai “ekstrim kanan”. Setelah pemerintah merasa kepepet dan sepak-terjangnya makin terbaca oleh rakyat, muncul lagi pembodohan baru, yakni “ekstrim tengah”. Konsekuensinya seluruh dunia dan seisi alam semesta ini diklaim sebagai ekstrim semua, jadi yang tidak ekstrim hanya Penguasa Orde Baru saja, seakan mengkultuskan dirinya sebagai sosok yang absolut.
Dengan itu bobot religiusitas dan universalitas dalam karya seni tak pernah mengenai sasaran untuk mencerdaskan rakyat. Wajar saja negeri berpenduduk ratusan juta yang gimah ripah loh jinawi ini, nyaris tak pernah melahirkan karya besar yang diakui dunia. Dan ketika muncul seorang pemuda Banten menulis novel berjudul “Perasaan Orang Banten”, suatu literasi yang diperjuangkan untuk keabadian maka tak lepas dari hujatan caci-maki. Tabiat ini memang pembawaan karakter Orde Baru yang telah mewariskan pera daban hitam-putih, analisis pukul rata, senang bergerombol, dan ujung-ujungnya membangun oligarki kekuasaan partai korporasi yang tiada henti-hentinya.