OLEH BAMBANG KARYAWAN YS

Riwayat Asap: Obat Luka Kepedihan dan Kreativitas Penulis Menabur Benih Sastra Hijau di Riau

Seni Budaya | Minggu, 22 November 2015 - 00:06 WIB

Menyusut ... daging yang membalut tubuh ini. Urat-urat mengecil dan menonjol disetiap sisa daging. Menghitam. Aku tak mengerti apakah teori evolusi Darwin memang telah menimpa aku dan orang-orang disekelilingku. Asap yang selalu pekat menjadi asupan setiap hari dan membuat tubuh ini harus bertahan hidup dengan mengalami adaptasi serta penyesuaian. Tak penting bagiku mengapa ini bisa terjadi, yang terpenting adalah bertahan hidup dengan situasi ini.

Dalam buku Riwayat Asap ini hadir pula cerpen lain dan puisi-puisi hijau yang ditulis dengan sepenuh hati menyuarakan tentang kegelisahan, kegeraman, dan kegamangan tentang asap ini.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sastra, Mengobati Luka

Menurut pakar psikologi sosial, David McClelland, dengan bantuan beberapa ahli yang netral, menemukan puisi, drama, pidato penguburan, kisah epik di Inggris ternyata menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak cepat menyerah. Cerita-cerita seperti ini dianggap memiliki nilai n-Ach tinggi, virus yang menyebabkan pembaca atau pendengar terjangkit penyakit the Need for Achievement (Kebutuhan Berprestasi).

Kondisi bangsa kita yang suram, penuh luka-luka, harus segera diobati. Salah satunya adalah dengan menanamkan motivasi berprestasi (menaikkan n-Ach) setinggi mungkin. Bukankah Jepang, yang sekarang menjadi negara maju pun, pernah mengalami luka yang sangat parah tahun 1945? Dan, salah satu cara yang bisa diterapkan, adalah dengan bersastra. Sastra sebagai bagian dari gerakan budaya diharapkan mampu memberikan penyadaran. Namun tentunya sastra yang dimaksud adalah sastra yang memotivasi untuk berprestasi. Sastra yang menjunjung optimisme tinggi, menceritakan keberanian mengubah nasib. Bukan sekadar sastra-sastra negatif yang justru membuat orang bersikap pesimis dan kehilangan harapan.

Dalam dunia modern sekarang ini kemungkinan terjadi penderitaan itu lebih besar. Hal ini telah dibuktikan oleh kemajuan teknologi dan sebagainya. Penderitaan yang terjadi di seluruh dunia merupakan salah s atu obyek sasaran media massa untuk membuat berita, kemudian akan sampai ke seluruh penjuru masyarakat termasuk para seniman yang kemudian akan mengapresiasikan rasa simpatinya melalui karya seni.

Ahli lain pernah mengungkapkan bahwa  menulis pengalaman pahit yang dialami sehari-hari dapat meredakan tekanan yang dialami. Dalam kasus asap di Riau yang memakan waktu relatif lama tentunya menelan beragam penderitaan masyarakatnya. Masalah kesehatan, pendidikan, produksi industri, dan aspek kehidupan lain menyita pemikiran. Endapannya akan berkumpul dan memacu munculnya stress yang makin meninggi. Upaya mengeliminir kemelut ragam masalah dapat dilakukan dengan menuangkannya dalam  sastra. Sejalan dengan fungsi sastra yang begitu humanis yakni ketika sastra menjadi ruang utuh mengekspresikan keterdesakan kondisi hati, jiwa dan perasaan manusia. Dengan karya sastra kita akan berbagi pengalaman dan mendapat umpan balik dari pembaca. Berbagi disinilah yang menyebabkan kadar stress  kita akan berkurang.

Dari Asap Menyemai Hijau

Masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Lapisan ozon kini semakin menipis. Berbagai simposium, seminar, dan pertemuan diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan terus dikampanyekan. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para sastrawan pun ternyata tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah ini.

Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun sejak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Atau karya-karya dari khazanah kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan napas kerinduan pada alam. Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair.

Di tanah air sastrawati Indonesia, Naning Pranoto bersama Perhutani dengan gigihnya memulai gerakan Sastra Hijau (Green Literature). Buku yang menjadi pedoman para penggerak sastra hijau pun dihasilkan dengan judul “Seni Menulis Sastra Hijau bersama Perhutani”. Lewat beragam lomba menulis cerpen dan puisi hijau yang digesanya menjadi identitas baru dalam khasanah sastra di Indonesia. Organisasi penggerak nyata membumikan sastra hijau pun dibangunnya berupa Gubug Hijau Raya Kultura dan Laskar Pena Hijau.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook