Maka, kesan dan perasaan itulah yang paling kentara dalam buku puisi ini. Dan ternyata ada hal yang sama yang berulang-ulang hadir dalam puisi yaitu tentang kota, masa lalu dan hari depan. Dan hampir keseluruhan puisi (mulai halaman awal hingga akhir) menggambarkan hal tersebut dengan begitu gelap dan cemas.
Lihatlah:
1. Kita pisah sehari, biniku, ke arah hari lalu aku berjalan
Kita tertidur untuk terbenam di hari depan
Kita berjalan untuk terantuk pada kenangan (hal.3)
2. Aku turun, melintas, dan dibuat memandang jauh
Ke masa lalu yang serasa perasan empedu tanah (hal.4)
3. Ada sebuah lagu, Irma, tentang hari depan. Dimana
perahu melaju dari hulu akan dibenam riak yang tenang
di mana padi tak lagi masak dan jagung tak lagi mengupih
......
dan aku terus membayangkan hari depan
serupa gaung udara yang kedengaran jauh (hal.7)
4. “Di Padang, siapa akan mengapung dan siapa akan membenam?” (hal.9)
5. Waktu masih begitu
bergerak antara ‘iya’ dan ‘tidak’ (hal.19)
6. Di kota dalam retakan tempurung, pilihan, Cuma jalan
terpuruk atau mati terduduk.
.....
Aku melihat kota dengan mata sakit
dan punggung luka sabit (hal.39)
7. Hari lalu, hari dengan musim yang begitu (hal.44)
8. Ah, masa lalu selalu seperti perempuan pencemberut (hal.61)
9. Tapi di kota ini, hari-hari adalah kenangan yang
terbenam, angan yang terbuang, dan pengaminan bagi kekaburan
hari depan : seperti kisah film India paling sedih yang kita tonton di Bioskop Raya (hal.63)
10. ...dari masa lalu yang remuk (hal.93)
11. Hari depan, Cintaku. Di Selatan
lima jam jalan tanpa lampu
mata kuda yang lumpuh
dan 1.000 km kehilangan cahaya (hal.94)
12. .... dan aku masih bersajak seperti dahulu
terus memeram isi dada lebam membiru (hal.106)
13. ...(sementara hari depan masih seperti
pakaian bulan kemarin tergantung begitu di paku pintu) (hal.108)
5
Lalu kenikmatan apa yang saya peroleh dari buku ini? Kenikmatan bunyi dan diksi. Indah sekali. Cobalah baca puisi-puisi dalam buku ini dengan bersuara, dengarkan. Sungguh indah. Kemudian yang saya nikmati adalah kekentalan suasana lokal. Saya merasa sedang berkunjung ke Minangkabau. Kaya sekali. Lalu apa yang tidak saya nikmati? Sebenarnya ini sama sekali hanya soal selera dan pandangan pribadi. Memasuki bagian puisi yang satu ke bagian puisi yang lain adalah memasuki cerita ke cerita. Tapi cerita yang hampir melulu sama. Cerita tentang kecemasan si aku tentang masa lalu dan hari depan. Tentang kota yang seperti dalam retak tempurung. Tentang peristiwa dan kenangan yang cenderung sentimentil. Adakah bara api dalam buku puisi ini? Sebuah gagasan ataupun jiwa dan roh yang berteriak lantang menyuarakan sesuatu?
Barangkali ada. Tapi suara kecemasan. Karenanya, membaca Dalam Lipatan Kain, bagi saya, membaca cerita ke cerita, membaca cemas yang satu ke cemas yang lain.
Kangen geletar angsana sebelum patah, cintaku
dan aku bersajak masih seperti dahulu.
Seperti dahulu
terus memeram isi dada lebam membiru
(Sajak Dahulu)
Demikianlah.