Begitu juga puisi "Angin dari Arah Pauh", "Dendang Kapal Tandas", "Dituba Kabut Asap", "Kelahiran Dendang", "Ketika Dendang Tidur", dan "Membeli Jantung Pisang". Tapi, rumah yang dipilih adalah rumah di atas gelombang. Diksi rumah disandingkan dengan gelombang. Rumah yang mestinya tenang, tetap, tidak bergerak dipasangkan dengan kata gelombang, sesuatu yang terus bergerak dan pasang. Mengapa?
Lalu, pada "Kota dalam Tempurung", kita akan menjumpai banyak judul puisi dengan nama tempat, seperti Bukittinggi, "Di Hadapan Jam Gadang", "Di Pelintasan Jalan Gereja", "Di Pamancuangan", "Di Kedai Hau", "Di Kinol". Pada bagian ini saya memaknainya sebagai salah satu ruang dalam perjalanan yang diwakili dengan diksi kota. Kota adalah sebuah ruang yang selalu dilawankan dengan kata kampung. Jika kampung cenderung diartikan dengan masa lalu, tradisi, sesuatu yang bergerak lamban bahkan stagnan maka kota adalah kebalikannya.
Kota adalah gambar dari kedinamisan, kemodernan, gerak yang laju, kebaruan dan mimpi-mimpi. Tapi kota dalam retakan tempurung? Bukankah tempurung sebuah benda beruang sempit. Sebuah keterkurungan. Kota apakah ini? Kota manakah yang disebut? Kota nyata atau kota yang hanya dalam imaji penulis. Di kota dalam retakan tempurung, pilihan, cuma jalan terpuruk atau mati terduduk. Wah! Hanya dua pilihan dan sama-sama buruk.
"Oslan dan Lagu Palinggam" bagi saya adalah bagian dari orang-orang juga tempat dan peristiwa. Sedang "Tentang Anggun Nan Tongga" merupakan semacam transformasi dari cerita kaba ke dalam puisi. Esha mengolah cerita kaba Anggun Nan Tongga ke dalam narasi-narasi puisi, seperti pada puisi "Tentang Anggun Nan Tongga", "Tentang Gondoriah", "Gelanggang Nangkodo Baha", "Bujang Selamat Tukang Kabar", "Ke Arah Tiku", "Tentang Mangkuto". Adapun "Dalam Lipatan Kain" suasana yang terasa dari puisi yang satu ke puisi yang lain adalah tentang peristiwa dan kenangan. Lihatlah misalnya dalam puisi "Di Ruangan Ini", "Pada Sebuah Malam", "Momento atau Hello", "Cinta yang Jauh di Mata".
4
Memang, ketika berhadapan dengan puisi, salah satu hal yang susah dilakukan adalah membedakan aku lirik dengan aku penyair. Keduanya sering bertumpang tindih. Kecuali pada bagian "Tentang Anggun Nan Tongga" dan beberapa puisi misalnya "Ratap Bagindo Usman", sebagian besar "aku" dalam buku puisi ini adalah aku penyair. Tapi, terlepas tentang aku lirik ataupun aku penyair, dari perjalanan yang saya sebut pada bagian sebelumnya maka saya membuat alur kisah begini tentang si aku (aku yang tumpang tindih itu):
Si aku berada di dalam sebuah ruang perjalanan. Perjalanan secara fisik ataupun pikiran dan perasaan. Banyak tempat yang ia singgahi dan datangi misalnya Pagaruyung (hal. 69), Merapi (68), Blantung (65), Pamancuangan (33), Bukittinggi (29), Singkarak (4). Selain persentuhan dengan tempat si aku juga bersentuhan dengan orang-orang juga teks-teks lain. Persentuhan dengan orang misalnya melahirkan puisi seperti "Sajak Buat Pinto" (110), "Teringat Lansano" – untuk Indrian Koto (61), "Momento" –untuk M. Aan Mansyur (114).
Persentuhan dengan teks lain menghasilkan puisi-puisi seperti bagian "Tentang Anggun Nan Tongga" juga beberapa puisi seperti "Rustam dan Sebuah Lagu tentang Gelombang Sebelum Malam" (53) dan "Dari Potret Perjalanan Faiz" (22). Akan pertemuan dan persentuhan itu si aku menuliskan kesan-kesan dan perasaan-perasaannya.