ESAI SASTRA

Dalam Lipatan Kain, dari Cerita ke Cerita, dari Cemas yang Satu ke Cemas yang Lain

Seni Budaya | Minggu, 13 Maret 2016 - 01:21 WIB

Dalam Lipatan Kain, dari Cerita ke Cerita, dari Cemas yang Satu ke Cemas yang Lain

Oleh Alvi Puspita

1

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ketika sebuah teks dilemparkan maka berarti ada seribu cara pembacaan bagi pembaca. Salah satunya bahwa pembacaan adalah soal kenikmatan. Seorang pembaca memiliki kebebasan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan pemaknaan dari teks-teks yang ia baca. Teks adalah rimba sekaligus peta. Dan pembaca "menyesatkan" diri di dalamnya, melakukan pengembaraan dan perjalanan. Maka, dengan cara pandang inilah saya memasuki  Dalam Lipatan Kain, buku kumpulan puisi Esha Tegar Putra (penyair kelahiran Solok Sumatera Barat) yang diterbitkan oleh Motion Publishing, Maret 2015.

2

Dalam Lipatan Kain memuat 87 puisi yang dibagi ke dalam beberapa bagian oleh penulisnya. Pertama, "Rumah di Atas Gelombang", terdiri dari 18 puisi, "Kota dalam Retakan Tempurung" (17 puisi), "Oslan dan Lagu Palinggam" (24 puisi),  "Tentang Anggun Nan Tongga" (10 Puisi), dan "Dalam Lipatan Kain" (18 puisi). Namun tidak ada keterangan lebih lanjut kita temukan dalam buku ini atas alasan pembagian itu.

Hanya ada satu keterangan singkat bahwa puisi yang terhimpun adalah puisi-puisi yang ditulis Esha pada rentang waktu 2009-2014. Tapi, lagi tidak ada keterangan lebih rinci bagi pembaca karena setiap puisi tidak disertai tahun penulisan. Jadi kita tidak tahu mana puisi yang ditulis pada tahun 2009, 2010, 2011, 2012 atau 2014. Jika seorang pembaca (yang serius) berniat untuk melihat bagaimana perjalanan dan perkembangan puisi si penyair dari rentang waktu itu, maka menurut saya itu akan pupus karena tidak ada peta sama sekali dalam buku ini.

Namun, walaupun demikian, tahun pembuatan tidaklah satu-satunya peta. Maka peta selanjutnya yang bisa digunakan adalah pembagian puisi ke dalam lima bagian. Mengapa mesti lima bagian? Mengapa puisi yang satu tergolong dalam pengelompokan bagian ini sementara yang lain tidak? Mengapa puisi itu termasuk ke dalam bagian yang itu bukan yang ini?

Mengapa bagian "Rumah di Atas Gelombang" cenderung berisikan tentang cerita-cerita keluarga (istri dan anak)? Mengapa "Kota dalam Retakan Tempurung" sebagian besar terdiri dari puisi yang berjudul nama tempat? Begitu pula mengapa bagian "Dalam Lipatan Kain" cenderung bernuansa kenangan? Mengapa "Tentang Anggun Nan Tongga" terdiri dari puisi-puisi yang berjudul nama tokoh dalam kaba "Anggun Nan Tongga"?

3

Dari sekian banyak godaan dari rimba teks Dalam Lipatan Kain ini, ketertarikan saya lebih pada mencari kemungkinan di sebalik pembagian sub-sub puisi untuk menemukan kecenderungan masing-masing sub (diksi, tema, nuansa dll)  yang pada akhirnya akan menuntun saya untuk mendapatkan benang merah dari keseluruhan puisi. Maka, ibarat sebuah perjalanan, saya memulainya dengan memasuki "Rumah di Atas Gelombang" yang kemudian berakhir pada "Dalam Lipatan Kain".

Saya pun mencoba membuat sebuah alur dari bagian-bagian tersebut. "Rumah di Atas Gelombang" adalah tempat pulang. Tentang pilihan. Tentang tempat yang dipilih untuk menetap. Melabuhkan segala resah, menuangkan segala cerita (apapun itu) pada orang-orang terdekat. Barangkali karenanya, puisi-puisi yang terdapat dalam bagian ini cenderung puisi-puisi untuk orang-orang terkasih, keluarga. Seperti puisi "Ke Arah Hari Lalu" (kita pisah sehari, biniku, ke arah hari lalu aku berjalan)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook