ESAI BUDAYA

Seni Rupa Mendialogkan Makna

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:09 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Jika dipertimbangkan kualitas denotatif imaji seni-rupa sangat kuat, maka menarik sekali untuk mengetahui bahwa kemampuan konotatif ini juga merupakan bagian dari bahasa seni-rupa. Nyatanya, sebagian besar dari kemampuan itu berasal dari kesanggupan denotatif  seni-rupa.  Seni-rupa dapat menyadap segala macam efek dari seni-seni lainnya, semata-mata karena ia dapat merekamnya. Dengan demikian, maka semua faktor konotatif dari bahasa lisan dapat dimasukkan  ke dalam sebuah jalur penyampaian seni-rupa, sedangkan konotasi dari bahasa tulisan dapat dimasukkan ke dalam judul karya. Konon seni-rupa merupakan produk kebudayaan, maka ia memiliki gema yang melampaui apa yang disebut ahli semiologi diegesis-nya yaitu jumlah denotasinya.

Orang-orang tradisional tercatat sebagai orang yang berkemampuan mengagumkan dalam pembacaan makna. Para pelaut dalam mengamati alam secara tampak sekaligus mampu memaknai kondisi alam yang terselubung di balik keadaan yang tampak. Dengan melihat langit mereka membaca cuaca yang akan tiba, melihat bintang mereka membaca arah, melihat riak ombak dilautan mereka membaca keadaan yang akan di hadapi dan seterusnya, dan tentu saja ketika penyuka senirupa berdepan-depan dengan sebuah karya seni rupa, akan mendapat apa-apa (makna, makna) yang ada disebalik karya yang ditatap.

Namun untuk itu diperlukan bekal ilmu yang bisa didapat dari memperbanyak dialog dengan para sesama penyuka, pemerhati seni rupa dan tentu juga mengasah Intuisi agar berkemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datang dari dunia lain dan di luar kesadaran. Mudah-mudahan, dengan sedikit penjelasan sederhana yang penulis sampaikan di atas, dapat membantu para calon penulis resensi pada sebuah peristiwa seni rupa, bedah karya, penyuka sekaligus pemakna senirupa, untuk memaknai sebuah karya seni rupa yang ditatapnya melalui sudut pandang yang masing-masing bebas namun berisi argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan otomatis akan lebih memperkaya makna dari sebuah karya seni rupa itu sendiri. Begitu juga, dengan adanya kesempatan yang diberikan kepada para pemerhati untuk masing-masing memaknai yang berarti tidak lagi memikulkan beban tanggung-jawab pemaknaan kepada “hanya” seorang kreator yang sudah menyelesaikan tugas kesenimanan-nya. Kecuali ketika ia mendapat tugas rangkap menjadi pengajar, formal maupun tidak formal.***

SPN Dantje S Moeis, adalah perupa, penulis kreatif, redaktur senior Majalah Budaya Sagang, dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbabaru.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook