ESAI BUDAYA

Seni Rupa Mendialogkan Makna

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:09 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.

Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah aula yang penuh sesak dengan manusia, di sana muncul sebuah makna. Seseorang sedang berbaring bersandar di pangkal sebatamg pohon rindang dengan mata tertutup dan kita mengartikan bahwa ia sedang terlelap tidur atau kelelahan atau dalam kondisi pingsan, atau boleh jadi sedang menjalankan tugas intelijen, mengamati keadaan seputar memperhatikan hal-hal yang mencurigakan.

 Seseorang tersenyum simpul menerima kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia sinis menerima kedatangan kita atau ada sesuatu yang mengingatkan dia pada peristiwa kita dan dia di waktu lalu? Seorang ibu memanggil anaknya dengan suara keras, apakah sang ibu bersiap memarahi atau mengingatkan akan sesuatu. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.

Yang disebut makna menurut Saussure (Ferdinand de Saussure. Jenewa, 1857 – Vufflens-le-Château, 1913 adalah linguis Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika/semantikos/semainein) tidak dapat ditemukan pada unsur itu sendiri, melainkan pada keterkaitannya dengan unsur lain. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat James P. Spradley (1933-1982) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.

Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol kedinginan, takut, kegembiraan atau menahan emosi. Meremas-remas sesuatu tanpa sadar, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol. Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.

Makna denotatif meliputi hal-hal yaitu mencatat semua tanda visual yang ada. Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Sementara Saussure mengidentifikasikan makna denotatif sebagai makna-makna yang dapat dipelajari pada fisik benda-benda (prinsip anatomis, material, fungsional).

Makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Dalam tahapan konotatif, kita membaca yang tersirat. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula. Sedangkan catatan Saussure menyebutkan bahwa makna konotatif adalah makna-makna lebih dalam (idiologis, mitologis, teologis) yang melatari bentuk-bentuk fisik.

Dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, imejnya, dan sifat-sifat glamour dari bintang film tersebut.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook