ESAI BUDAYA

Seni Rupa Mendialogkan Makna

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:09 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Oleh Dantje S Moeis

Pada setiap pameran seni rupa, perupa yang me mamerkan karya selalu mendapat tugas tambahan yang sebenarnya tak perlu untuk memenuhi (seakan) tugas  tersebut. Sebenarnya tugas kreator (perupa) sudah selesai ketika karya yang digarapnya dia nyatakan selesai pula. Apalagi karya tersebut sudah pula ia pamerkan dan menjadi konsumsi masyarakat untuk dinikmati, dinilai, diamati atau dimaknai.

Di dalam The Death of The Author esainya Roland Barthes, ia mengatakan  mengenai pengaruh teks (dalam konteks ini, “teks” saya maknai sebagai karya seni rupa) di dalam penciptaan makna. Karya seni rupa adalah pribadi karya tersebut yang berbicara dan bukan pencipta yang berbicara kepada pemerhati. Sehingga dengan demikian karya seni rupa lah yang sedang berbicara yang berkomunikasi kepada pemerhatinya. Oleh sebab itulah setiap pemerhati ketika memaknai sebuah karya seni rupa, tidaklah sedang berinteraksi dengan perupa penciptanya namun sedang menjalin hubungan dengan karya yang sedang dimaknainya.

Karya seni rupa muncul di hadapan pemerhati dalam bentuk seperangkat kode yang mengajak setiap pemerhati untuk bermain-main dengannya di dalam membangun penafsiran. Perupa pencipta tidak hadir di dalam permainan intim ini sebab perupa pencipta “sudah mati” ketika permainan keduanya, karya seni rupa dan pemerhati, sedang berlangsung.

Lazim dikenal ada dua cara yang dilakukan karya seni-rupa ketika ia men-dialog-kan makna, secara denotatif  (yang menunjukkan/yang tampak) dan secara konotatif (makna tambahan/terselubung). 

Sama seperti pada bahasa tulis, tapi dengan ukuran lebih tinggi, sebuah imajinasi seni-rupa memiliki makna denotatif, dia adalah sebagaimana apa adanya dan kita seakan tidak perlu berusaha keras dan memaksakan diri untuk mengenalinya. Faktor ini kelihatan sederhana sekali, namun tidak dapat diremehkan: di sini letak kekuatan besar dari seni-rupa.

Karena seni-rupa dapat  memberikan kita sesuatu yang mirip atau dekat sekali dengan kenyataan, ia dapat men-dialog-kan pengetahuan yang tepat teliti yang jarang bisa dilakukan oleh bahasa tulisan ataupun lisan. Sistem-sistem bahasa mungkin berkemampuan untuk mengemukakan dunia ide dan abstraksi yang tidak konkrit, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk menyampaikan terinci tepat tentang realita-realita fisik.

Perihal sesuatu yang bersifat konotatif, makna tambahan atau terselubung pada sebuah karya seni rupa, yang disampaikan kreator melalui tanda-tanda atau kode, Roland Barthes dalam bukunya mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan.

Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain,

Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.

Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.

Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.

Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook