Nada lagu yang terkandung dalam gembang bukan menceritakan sembarang kisah. Ada sejarah tentang sebagian kisah Kerajaan Rokan pada masa dulu. Semunya disuarakan dalam nada lagu.
(RIAUPOS.CO) -- GEMBANG merupakan alat musik yang terbuat dari kayu angau. Disebut juga dengan calempong tapi terbuat dari kayu. Benda ini sudah ada sejak zaman dulu sebelum calempong berbentuk besi atau tembaga seperti sekarang. Dengan ukuran tertentu, gembang yang terdiri dari enam tangga nada (do, re, mi, fa, so, la), menimbulkan nada yang asyik apalagi menceritakan tentang sejarah masa lalu.
Dulu, gembang dimainkan di tengah ladang (banja-banja ladang) oleh orang kampung yang menanam padi ladang di lereng-lereng bukit. Menjelang musim panen, mereka tidak pulang, tapi tinggal di ladang, menunggu padi dari serangan hama hingga berhari-hari. Jika siang mengurus padi, maka malam menjadi sangat lengang, tidak ada kegiatan. Saat inilah gembang dimainkan oleh ahlinya dengan mengajak peladang lain kumpul untuk bersama menyaksikan pertunjukan alat musik tersebut.
Gembang yang tersisa saat ini ada di Kelurahan Teluk Bandahara, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu. Itu pun hanya ada satu pewaris tersisa yang bisa membuat dan memainkan, yakni Chandra. Pemuda asli Teluk Bendahara ini bisa memainkan gembang dengan 32 lagu yang mengisahkan sejarah Kerajaan Rokan. Keahlian membuat, memainkan dan memahami makna lagu itu diterimanya sebagai warisan dari kakeknya.
Merasa sebagai pewaris tunggal, ia pun mulai mengajarkan gembang ke sekolah-sekolah dan generasi muda di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan ia berencana membuat 500 gembang dan dibagikan ke seluruh sekolah di Rohul. Ukuran gembang bisa besar dan bisa kecil. Ada ketentuan khusus baik panjang maupun ketebalan gembang karena akan berpengaruh kepada bunyi nada yang dikeluarkan. Begitu juga dengan besar dan panjang umah-umahnya (tempat gembang).
Semua lagu sebanyak 32 itu dihafal Chandra dan dinyanyikan melalui pukulan gembang. Satu lagu dengan lagu lain, berbeda. Kisah yang diceritakan juga berbeda. Tapi semua tentang sejarah raja Rokan dan anak-anaknya. Mulai dari tiga putri hingga penabalan anak raja yang harus mengenakan berat pakaian yang sama dengan raja sebelumnya, meski ukuran badan tidak sama.
Lagu gembang tersebut antara lain, "Sonayuong" (menceritakan zaman-zaman kerajaan atau sejarah dan kegiatan kerajaan zaman dulu), ’’Nanggunai’’ (tentang putri anggun naik ke atas pulai atau akan diangkat menjadi putri raja), ’’Tigo Lalu’’ (intinya tentang tiga adek beradek, tentang tiga putri), ’’Tigo Bonti’’ (tentang habis yang tiga putri tersebut baru bisa diangkat yang keempat karena yang keempat anak laki-laki), ’’Tigo Singgah’’ (tentang tiga putri yang berhenti timbang baju tentang anak yang akan diangkat menjadi raja. Jadi bajunya harus sama berat, baik emas, batik, ukurannya dan lain-lain. Ukuran badan raja yang menjabat dengan anak berbeda, tetapi berat baju dan perlengkapan yang dipakai harus sama berat).
Selain itu ada lagu ’’Kakak Timbang Baju’’ (tentang kakak yang menimbang baju, adek yang mau jadi raja), ’’Tak Tuntun Timbang Baju’’ (tentang timbang baju raja juga tapi lebih kepada memberitahu atau menunjukkan bahwa kakak menimbang baju), ’’Kokubik’’ (tentang sebuah acara memanggil masyarakat untuk menyaksikan penobatan), ’’Atik Bosa’’ (tentang syukuran setelah acara), ’’Atik Bosa Duo Kali’’ (artinya tentang atik tahlil disambung dua kali oleh orang surau), ’’Antaanta Pulang’’ (tentang anak raja diantar pulang), ’’Antaanta Ko Tapuong’’ (minta antar ke tapung atau daerah ladang), ’’Antaanta Ko Lintam’’ (minta antar ke tempat orang beladang bernama lintam atau arah dari Ujungbatu ke Pasir), ’’Adang-Adang’’ (artinya berladang dalam suasana panas), ’’Adang-Adang Buanak ’’ (artinya panas sekali panas bersambung dua orang), ’’Sotaun Sosok Tingga’’ (artinya siap ladang sekali, semak ladang maka disosok), ’’Sonayuong Sotongah’’ (artinya bersandar), ’’Tak Tuntun Tigo Bonti’’ (menunjukkan tiga kakak berhenti), ’’Malin Kilie’’ (artinya agak-agak alim tapi agak cerdik).
Ada juga lagu ’’Malin’’ (artinya orang alim atau orang elok), ’’Puti Botimang’’ (artinya waktu kecil anak raja ditimbang-timang dinyanyikan dengan lagu. Dulu kalau dinyanyikan puti batimang datang orang, kalau tidur pasti terjaga. Lagu ini digunakan saat pitunang atau poimbau), ’’Lingkitang Moisok’’ (artinya podioh hati), ’’Bujang Ponyogan’’ (tentang bujang pergi motong sendiri tapi lengang, maka singgah dulu menunggu kawan. Setelah kumpul kawan di simpang mau pergi ke kebun tak jadi karena keasyikan bercerita), ’’Naggunai Tongah’’ (artinya putri raja nan anggun), ’’Tigo Lalu Tongah’’ (artinya tiga putri raja lalu di tengah), ’’Tigo Lalu Gunto Kudo’’ (tentang bunyi kerincingan kuda beban yang apabila mendaki dan menurun beda bunyinya, saat di tempat datar lain pula).
Dijelaskan Chandra, dulu gembanng juga ada pasanganya seperti halnya calempong. Tapi semua dari kayu, gendang dari kayu, gong juga dari kayu atau disebut dengan ketontong. Kini yang tinggal dan masih dimainkan hanya gembang.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul