Pawang Lebah, memang terkenal unik. Tapi inilah kegigihan sang tokoh saat panen madu lebah sialang dilakukan, khususnya di kawasan Cipang Raya, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rohul.
(RIAUPOS.CO) - KAWASAN Cipang Raya yang terdiri dari perbukitan dan hutan rimba yang masih alami, menjadikan tempat ini sebagai salah satu sumber madu di Kabupaten Rohul. Berbagai jenis pohon menjadi tempat lebah singgah. Pohon inilah yang disebut dengan pohon sialang. Madunya disebut dengan madu sialang. Ada pohon kayu aro, pohon rengas dan masih banyak lainnya. Tapi, pawang lebah atau tukang panen madu lebah, hanya beberapa saja alias tidak banyak lagi. Nasrizal salah satunya. Kawasan Cipang Raya terdiri dari empat desa, yakni Desa Tibawan, Cipang Kanan, Cipang Kiri Hilir dan Cipang Kiri Hulu.
Nasrizal asli Desa Tibawan. Sudah lebih 15 tahun ia menjadi pawang madu lebah. Tidak hanya di Tibawan, ia juga sebagai pawang keliling yang dipanggil di desa-desa sekitar, antara lain Desa Cipang Kiri Hulu. Keberanian dan kemahiran Isal –panggilan akrab Nasrizal- memang tidak diragukan lagi. Ia bisa memanen saat musim hujan atau panas. Bisa juga di waktu siang atau malam.
Menurut Isal, untuk menjadi pawang hanya diperlukan nyali lebih atau keberanian yang berbeda. Selain itu, tentunya dibarengi dengan teknik khusus karena mengambil lebah madu sialang bukan pekerjaan biasa. Benar-benar perlu cara yang tepat serta dilengkapi dengan pelindung diri seperti baju anti sengat dan lain sebagainya.
Madu lebah yang dipanen Isal berada di kebun orang lain. Isal sendiri tidak punya. Hasil yang dipanen dibagi dengan pemilik kebun. Sepertiga untuk pemilik kebun dan selebihnya untuk pawang lebah yang kemudian dibagi dengan pembantunya. Sekali panen, setidaknya diperlukan 6 hingga tujuh pembantu.
Masing-masing pembantu ini memiliki peran masing-masing pula. Kalau pawang lebah berperan naik ke atas pohon mengusir lebah dari sarangnya dan mengambil lebah madu, yang lainnya berbeda lagi. Satu orang bertugas sebagai pengulur dan penarik tali yang ujungnya dibawa pawang lebah naik ke atas pohon bersama ember penampung madu. Satu orang lagi bertugas menarik ember yang diulur dari atas setelah diisi madu. Dua orang berikutnya membersihkan dan mengambil madu dari sarangnya setelah sampai di bawah. Dan, dua orang lagi bertugas di tempat lain yang berjarak beberapa meter dari lokasi untuk menjaga serangan hewan lain.
Ada tiga pohon yang selalu dipanen Isal dua kali dalam setahun. Sekali panen, hasilnya bisa mencapai 150 kilogram. Isal tidak pernah khawatir karena madu yang dipanennya sudah ada yang menampung di Ujung Batu. Harga jual per liter atau satu botol Rp100 ribu. Tak heran jika waktu panen merupakan waktu yang ditunggu-tunggunya. Agar sarang lebah selalu banyak dan hasil yang didapatkan melimpah, Isal merawat pohon ini dengan baik. Tidak hanya dengan membersihkan pada bagian bawah pohon, tapi juga melakukan ritual setiap kali hendak memanen.
Tiga kali mengelilingi pohon sebelum memanjat pohon sialang, itulah yang dilakukan Isal. Saat berkeliling itu, Isal seolah berdialog dengan pohon dan lebah, meminta izin kepada pohon karena akan memanjat. Meminta izin dan meminta maaf kepada lebah karena madunya akan diambil dan tidak bermaksud mengganggu, serta berharap agar lebah-lebah itu datang kembali dan menghasilkan madu yang lebih banyak lagi.
Usai melakukan ritual ini, Isal memanjat pohon yaang tingginya mencapai 80 meter. Ratusan paku angker yang panjang ditancapkan di pohon untuk jenjang naik ke atas. Selain membawa ember, Isal juga membawa penyapu yang terbuat dari serabut kelapa kering. Penyapu ini disebut tunam. Kalau siang, tunam tidak dibakar. Tapi kalau malam, tunam ini dibakar ujungnya agar mengeluarkan asap dan percikan api sehingga lebah bisa terusir dengan mudah.
Tunam ini berbentuk panjang. Dari beberapa serabut kelapa yang dikeringkan terlebih dulu, lalu disusun rapi sehingga panjangnya mencapai sekitar 1 meter. Bagian pangkal lebih kecil dibandingkan bagian ujungnya. Dari bagian pangkal hingga ujung, diikat kencang dengan tali plastik.
Selain memanen madu sialang di kampungnya, Isal juga kerap dipanggil menjadi pawang lebah di desa lain, seperti Desa Cipangkiri Hulu. Ada beberapa pohon yang dipanennya di desa ini. Pemilik kebun yang tidak ahli memanen madu lebah, mendatangi Isal dan mengajaknnya berkerjasama. Hasilnya sama dengan di Tibawan, dibagi. Meski musiman, tapi madu lebah menjadi penghasilan tersendiri bagi Isal.
Berbeda dengan cara memanen lebah di Cipang Kiri Hilir, tepatnya di Dusun Tandikat. Di desa ini juga ada pawang. Namanya Dalmusri (42). Cara mengambil madu lebah di sini lebih tradisional. Tidak menggunakan baju anti lebah. Hanya memakai baju biasa dan dilakukan malam hari. Hanya mengandalkan mantra dan cara yang tepat sehingga lebah pergi dan madu bisa diambil.
Dalmusri lebih memilih tunam yang dibuat dari akar lundang. Menurutnya, percikan akar lundang yang dibakar jatuhnya lebih jauh ke bawah dan lebih lama dibandingkan dengan serabut kelapa sehingga lebah mengikuti percikan tersebut lebih jauh dan lebih lama pula. Saat itulah ia mengambil madu dibantu dengan rekan-rekannya yang sebagian naik ke atas pohon dan sebagian menunggu di bawah.
Sudah 25 tahun Dalmusri menekuni profesi ini. Ia tidak belajar secara khusus melainkan didapat dari orangtuanya yang juga pawang lebah dan pemanen madu. Pekerjaan ini merupakan warisan turun temurun yang memerlukan keberanian dan nyali besar. Tidak hanya Dalmusri, abangnya juga ahli mengambil madu lebah seperti dirinya. Di Tandikat, Dalmusri sudah disebut sebagai pakar meskipun usianya masih relatif muda. Setahun ia panen tiga kali, yakni bulan Agustus, September dan Oktober.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul