PEKANBARU (RIAUPOS.CO) --HIDUP bahagia jadi impian setiap orang saat menjalani pernikahan. Di depan penghulu, anji suci diikrarkan. Katanya, hanya maut yang bisa memisahkan.
Awalnya begitu indah. Bahtera rumah tangga berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Segala perbedaan dan pertentangan yang datang hanyalah riak-riak kecil sebagai penghias manisnya rumah tangga.
Namun seiring perjalanan waktu, riak-riak berubah menjadi ombak besar. Si suami dan si istri sama-sama panik. Kayuhan mereka tidak seirama lagi. Saling menyalahkan. Bahtera pun melaju tak tentu arah. Ujung-ujungnya oleng dan pada akhirnya karam. Itulah yang dinamakan dengan perceraian.
Perceraian disebut juga sebagai kegagalan dalam membina rumah tangga. Di Riau, kasus ini setiap tahun masih tergolong tinggi. Ini bisa terlihat dari data yang masuk ke Pengadilan Agama (PA) di 11 kabupaten/kota sejak Januari hingga Agustus 2019. Total sudah mencapai 5.639 perkara. Dari data itu 3.977 perkara sudah diputus. Artinya sejak Januari hingga pertengahan Agustus sudah lebih dari 3.977 perempuan di Riau menyandang status janda baru. (Data lengkapnya baca di grafis).
Faktor penyebab terjadinya perceraian didominasi kasus perselingkuhan, pertengkaran di rumah tangga, meninggalkan salah satu pihak. Faktor lainnya seperti ekonomi, dan tersandung kasus hukum.
Hal ini bisa dilihat dari data kasus perceraian yang masuk ke PA Pekanbaru. Dari 1.366 berkas perkara perceraian yang masuk hingga Agustus, 786 perkara atau 57,5 persennya merupakan kasus pertengkaran rumah tangga, 457 perkara atau 33,5 persen perselingkuhan (orang ketiga), 119 perkara atau 8,7 persen meninggalkan salah satu pihak. Dan 0,3 persennya karena faktor ekonomi, tersandung kasus hukum dan lainnya.(amn/end/ind/hsb/epp/ayi/wik/yas/ kas/wir/ind/esi/sol/lim/ted)
>>>Selengkapnya baca koran Riau Pos
Laporan: Tim Riau Pos