OLEH: YUSMAR YUSUF

Domestikasi

Riau | Minggu, 28 Juni 2020 - 08:32 WIB

Domestikasi

“Maka, keluar sebagai juaranya adalah manusiaaa...”. Demikian tempik sorak membahana, ketika pengumuman hasil perlombaan kambing hitam sejagat raya. Manusia adalah kera omnivora yang melahap segalanya di muka bumi. Dan kera jenis ini pula yang paling pandai dan piawai mengumpulkan sejumlah kambing hitam ketika sebuah petaka menimpa muka bumi dan segenap isinya. Musnahnya hewan-hewan darat berukuran besar dan berbulu, menurut catatan sejarah, manusia menuduhnya sebagai akibat perubahan iklim dan pergeseran zaman dari zaman es ke zaman bumi merekah:  Perubahan iklim yang menjadi kambing hitam. Kepunahan hewan-hewan air (laut) juga disebabkan oleh iklim yang berubah. Bukan karena polusi air sebagai akibat dari genangan racun pabrik dan limbah industri yang dihasilkan oleh manusia. Maka, kera omnivora ini dijuluki sebagai “juara pengkambing-hitaman” untuk menyelamatkan muka dan sejarahnya sendiri di muka bumi.

Alkisah mengenai hewan dan tanaman yang mengalami penjinakan oleh manusia, maka disebutlah sebagai peristiwa domestikasi (penjinakan atau “pe-rumah-an” oleh manusia ke atas hewan dan tanaman). Ihwal ini terjadi sekitar 9500-8500 SM yang dikenal dengan sebutan Revolusi Pertanian. Sebuah revolusi yang berpangku pada semangat untuk menyelamatkan hidup dari segi ketahanan pangan dan konsumsi pangan. Wilayah pertama melakukan revolusi ini mencakup kawasan Turki Tenggara, Iran Barat Laut dan sekitar Masyrik atau Levante yang dikenal saat ini, Syria. Dari sini menyebarkah ke arah mata angin yang lain? Timur, Barat, Selatan dan Utara? Kisah revolusi pertanian ini adalah revolusi yang berlangsung secara klaster (cluster) yang merujuk pada kaidah adaptasi lokalitas bangsa manusia muka bumi secara mandiri. Bukan hasil dari ekspor ide revolusi itu yang berpusar di Timur Tengah ke wilayah mata angin yang lebih luas. Tak ada ekspor ide revolusi itu. Yang ada adalah kemampuan adaptasi mandiri setiap bangsa manusia yang tergolong homo sapien itu dalam waktu dan rempak rima yang berlainan. Orang-orang di Amerika Tengah, mendomestikasi gandum dan buncis, tanpa beroleh kabar dan tanpa informasi yang jelas tentang domestikasi gandum dan ercis orang-orang di Timur Tengah (Turki, Iran dan Levante). Orang Papua, menjinakkan tebu dan pisang. Di Amerika Utara orang terlalu lelah mencari tanaman labu di semak samun, yang akhirnya mereka lakukan domestikasi terhadap labu kuning. Orang di Amerika Selatan belajar membudi-daya ilama, tanpa sepengetahuan orang Meksiko atau pun orang-orang di kawasan Masyrik (Levante). Revolusi Pertanian itu berlaku di Timur Tengah, Amerika Tengah, Tiongkok, namun tak terjadi di Alaska, Australia dan Afrika Selatan.

Baca Juga : Laman Rumput Hijau

Pada era Revolusi Pertanian ini, Tuhan hadir sebagai Tuhan agrikultur. Ketika sekumpulan petani merindukan tanaman subur dengan buah meranum, dia harus menengadahkan tangan ke arah langit; meminta dan berdoa, agar Tuhan memasok hujan dan melarang serangga mendekati tanaman. Hujan jatuh, menyuburkan hara tanah dan gulma yang terkulum menghasilkan kesuburan. Buah meranum, bisa dipetik untuk konsumsi manusia, gandum dipanen dengan pianggang yang menjauh. Semua itu terjadi dengan syarat: manusia mempersembahkan hasil pertanian terbaiknya kepada Tuhan. Di sini terjadi transaksi agrikultur antara manusia dan Tuhan. Lalu? Peradaban selanjutnya ditentukan oleh kemampuan dalam ihwal domestikasi (penjinakan demi penjinakan), baik terhadap hewan maupun tanaman. Anggur dijinak sekitar 3500 SM (sebelum kelahiran Isa al Masih). Lebih jauh dari itu, gandum dan kambing didomestikasi pada 9000 SM. Ercis dan kacang india, tahun 8000 SM, pohon zaitun 5000 SM;  dan kuda pada 4000 SM. Deretan tarikh dan peristiwa domestikasi ini menjadi penanda tentang perjalanan peradaban manusia dalam menaklukkan lingkungannya. Padahal sejatinya, TIDAK. Malah terjadi yang bertolak belakang; sebuah pembohongan sejarah yang paling dungu di antara kedunguan sejarah lainnya.

Yang melakukan domestikasi itu sejatinya bukan hewan dan tanaman terhadap manusia, namun manusialah yang terdomestikasi oleh gandum, pohon apel, oleh antilop, kuda, rubah dan segala biota. Tubuh manusia tidak berevolusi untuk melaksanakan tugas-tugas menanam gandum, menyiang rambatan gandum sehingga tak menjadi liar bak semak samun, kemudian merawatnya dari hama dan serangga, lalu memanen gandum. Tubuh manusia diciptakan dengan tugas-tugas adaptasi untuk memanjat pohon apel, mengejar rubah dan antilop, bergerak lincah menghindari singa yang mengaum. Inilah tipuan itu; bahwa yang melakukan domestikasi itu adalah segelintir tanaman, bernama gandum, kentang dan padi. Tetumbuhan itu lah yang melakukan domestikasi homo sapien (manusia kita), bukan sebaliknya, ujar Harari. Sepuluh ribu tahun lalu gandum tak lebih dari tanaman liar, yang menyemak muka bumi Timur Tengah. Kemudian mendadak meluas seluruh dunia. 10.000 tahun lalu, tak sebatang pun gandum tumbuh di Great Plains Amerika Utara. Kini? Menyemak dan gandum menutupi muka bumi seluas 2.25 juta Hektar. Lebih luas dari Britania Raya. Bagaimana ini terjadi? Karena gandum mampu memanipulasi manusia demi kepentingan hidup si gandum.

Pada beberapa ribu tahun sebelumnya, sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam, hanya secuil kegiatan manusia dilakukan dan terkesan membiarkan gandum, bahkan menghina gandum. Selanjutnya dia meliar dan tak memberi dampak apa-apa kepada manusia. Gandum menuntut sesuatu yang lebih dari manusia; gandum tak suka bebatuan dan kerikil, maka manusia menyingkir batu dan kerikil, seraya membanting tulang membersihkan ladang. Gandum tak suka berbagi ruang, air dan hara dalam hidup berjiran dengan tumbuhan lain, lalu pria wanita mencabuti rerumput dan gulma yang menyemak sekita batang gandum. Tanaman gandum bisa sakit, maka manusia menjaga dan mengusir hama, serangga, hawar, cacing. Gandum merasa haus dan dahaga, maka manusia memikul air dalam kendi dari batang-batang air demi menyiram pangkal akar. Demi menyuburkan, manusia membuang kotoran hewan di sekitar gandum. Manusia menetap dan berkampung, demi merawat gandum yang dulu liar. Begitu pula ihwalnya dengan tanaman sawit hari ini untuk wilayah Indonesia, Riau khususnya. Sawitlah yang mendomestikasi manusia. Bukan sebaliknya. Kata “domestikasi”, berasal dari katan Latin; Domus yang berarti “rumah”. Lalu, siapa yang hidup dalam rumah? Bukan, gandum, bukan padi, bukan kentang, dan bukan sawit. Tetapi manusia. Homo sapien itu...

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook