PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mengambil sikap terkait persoalan perambahan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Taman nasional itu dikembalikan fungsinya. Salah satu tindakan yang akan diambil yakni memindahkan masyarakat.
Diketahui, di TNTN tersebut, ada ribuan masyarakat yang menetap di sana. Setidaknya, di Dusun Toro Jaya, Desa Kembang Bunga, Pelalawan, yang masuk dalam kawasan TNTN, sudah ada 5.000 jiwa lebih menetap di sana. Inilah yang rencananya akan dipindahkan oleh KLHK.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK Sustio Iriono mengatakan, penindakan serta penindakan hukum dilakukan dengan cara pendekatan kesejahteraan. Penegakan hukum ini akan dimulai pada pertengahan Agustus mendatang.
“Kita lakukan pendekatan kesejahteraan, tanpa menghilangkan status taman nasional. Misalnya tanaman satu daur atau satu kali masa panen), masih bisa dipertahankan. Setelah itu kita tanam tanaman hutan,” katanya, usai melakukan pertemuan di Pekanbaru, Kamis (26/7) siang.
Di TNTN, tak menjadi rahasia lagi bahwa hutan itu sudah dirambah. Kawasan konservasi tersebut, rata-rata sudah dialihfungsikan menjadi perkebunan. Itulah alasan untuk mengembalikan fungsi hutan. Untuk skema penegakan hukum dan penindakan yang dilakukan katanya, masih disusun.
“Skema riilnya masih digodok. Terutama di dalam kawasan. Daerah sekitar penyangga juga harus diselesaikan,” sebutnya.
Salah satu skema yang dilakukan kata dia, dengan memindahkan masyarakat dari dalam kawasan ke luar kawasan hutan. Namun, ke mana akan dipindahkan, dan teknis pemindahannya, Sustio belum bisa menjelaskannya.
“Salah satu skemanya memindahkan masyarakat. Sekarang kita sinkronkan kekuatan, dari KLHK, Polri, pemda, dan semuanya harus terlibat,” sebutnya.
Penegakan hukum ini kata dia, ditargetkan dimulai pada Agustus mendatang.
“Pendekatan hukum, jangan terlalu lama. Minimal, pertengahan Agustus sudah bisa main,” sebutnya.
Sebenarnya, penanganan TNTN telah dilakukan oleh KLHK sejak lama. Keberadaan masyarakat dan perkebunan di dalam kawasan itu menjadi persoalan. Kawasan yang notabenenya merupakan taman nasional, kini sebagian besar sudah beralih menjadi perkebunan.
Ada masyarakat secara pribadi yang menguasai lahan di sana, ada juga cukong. Sustio pun tak mengelak adanya penguasaan lahan dari masyarakat dan cukong tersebut. Tapi kata dia, lebih banyak masyarakat yang menguasai lahan tersebut.
Untuk cukong yang menguasai perkebunan di dalam TNTN, KLHK dan Kemko Polhukam menyatakan tegas menggunakan skema penegakkan hukum murni. “Pendekatan beda terhadap rakyat dan cukong. Cukong, ya penegakkan hukum,” jelasnya.
Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenkopolhukam, Carlo Brix Tewu menyebut, pihaknya juga sepakat untuk bersama-sama untuk menyelesaikan permasalahan TNTN.
“Pemerintah daerah, pusat, bersama menyelesaikan permasalahan TNTN ini. Kita lakukan penertiban bersama, baik pusat maupun daerah. Supaya tak berlarut-larut,” ujarnya.
Dalam penertiban ini kata dia, pihaknya membentuk satuan tugas (satgas). Saat ini, satgas masih menyusun terkait rencana teknis dalam penegakan hukum.
“Kita susun rencana operasi dalam sepekan. Lalu lakukan langkah penegakan hukum. Kita juga perhatikan dampak-dampak. Termasuk respon masyarakat,” kata Carlo.
Skema penindakan kata dia, juga masih dirumuskan. “Kita lakukan sosialisasi (terlebih dahulu).
Supaya tidak ada yang merasa dirugikan. Misalnya, penggarap sudah sesuai aturan atau tidak. Kalau tidak, akan ditindak melalui penegakan hukum,” ujarnya.
Diketahui, total luasan TNTN berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004 seluas 38.576 hektare. Jumlah ini bertambah setelah SK itu direvisi menjadi SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009, ditambah seluas 44.492 hektare, hingga total luasnya 83.068 hektare.(mng)