PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Berdasarkan hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia tahun 2022 yang dirilis Dewan Pers, Provinsi Riau menduduki peringkat keenam dengan nilai 82,01 atau termasuk kelas kategori kemerdekaan pers Cukup Bebas.
Kenaikan nilai IKP tahun 2022 di Provinsi Riau ini mengalami peningkatan dari tahun 2021, yaitu dengan nilai IKP 76,42. Dengan selaku pelaksana teknis survei pada tahun 2022 yaitu PT Sucofindo.
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menyatakan, melihat indeks kemerdekaan pers pada tahun 2022 ini cenderung meningkat.
"Berdasarkan laporan yang sudah ada, kecenderungannya (nilai IKP) meningkat tipis," kata Azyumardi ketika membuka acara Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2022 dipantau di platform zoom meeting.
Untuk diketahui, nilai IKP Indonesia tahun 2022 terjadi peningkatan yaitu sebesar 77,88. Hal ini meningkatkan dari tahun 2021 yaitu sebesar 76,02.
Melihat peningkatan tersebut, Ketua Dewan Pers mengingatkan, untuk tidak berpuas diri. Karena kemerdekaan pers ini masih harus perlu perjuangkan sehingga pihak dari Dewan Pers terus berupaya untuk memastikan kemerdekaan pers atau kebebasan pers itu bisa terjamin.
"Kita senang ada kenaikan dalam indeks kemerdekaan pers, tapi kita jangan puas dulu karena masih ada tantangan yang harus kita perjuangkan," ujarnya.
mengajak, pada momentum tersebut untuk terus meningkatkan IKP terutama kaitannya untuk penguatan demokrasi. Menurutnya, bahwa pers merupakan salah satu unsur penting demokrasi.
Terkait hal tersebut, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru Eko Faizin mengatakan, dengan indikator yang disampaikan Dewan Pers terkait indeks kebebasan pers di Riau "cukup bebas" harusnya tak berpuas diri karena ke depan jurnalis dihadapkan dengan draf RUU KUHP yang kalau disahkan akan mengancam jurnalis.
"AJI memandang RUU KUHP sekarang masih bermasalah karena memuat 19 pasal yang dapat membawa jurnalis ke jeruji besi," katanya.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers berikut Kode Etik Jurnalistik yang merupakan mekanisme khusus (lex specialis) dan diutamakan keberlakuan hukumnya (lex suprema) dalam kasus-kasus hukum yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik.
"Terkait indikator kebebasan, AJI Pekanbaru menyoroti soal tumbuh pesatnya website terutama yang mengatasnamakan media siber. Dewan Pers juga berperan mengedukasi pemerintah daerah atau pemangku kebijakan lain soal media abal-abal yang mengaku pers, selain proses verifikasi yang terus berjalan," ujarnya.
Di luar itu, perusahaan pers terutama media siber harus menggaji jurnalisnya sesuai UMR. AJI Pekanbaru berharap kekerasan terhadap jurnalis tak terjadi di Indonesia, khususnya di Riau. Pemerintah atau narasumber didorong untuk mengetahui tugas-tugas jurnalis.
"Selain itu, sebagai jurnalis harus juga memegang teguh kode etik profesinya," sebutnya.(rls/sol)