IKUT PENANGGULANGAN COVID-19 DI RIAU

Perempuan di Garda Terdepan

Riau | Selasa, 21 April 2020 - 08:00 WIB

Perempuan di Garda Terdepan

Tak Masalah Pakai Jas Hujan
Prismi Mulyadi, salah satu tenaga medis di Puskesmas Sebangar, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Dia menjadi salah satu wanita tangguh yang mampu konsisten memerangi corona. Keterbatasan APD juga tidak menyurutkan semangat paramedis di tengah pandemi corona saat ini. Banyak cara, banyak jalan dilalui guna mengantisipasi terjadinya penularan. Seperti penggunaan jas hujan sekalipun.

"APD di puskesmas kami memang belum standar WHO, tapi tetap kami pakai untuk meminimalisir virus. Karena kelangkaan, jadi kami memakai yang ada. Kami pakai jas hujan tidak masalah, yang penting bisa dipakai," kata Prismi kepada Riau Pos.


Lantas, sebagai seorang tenaga medis juga tak lepas dari peran keluarga. Dukungan dan support selalu berasal dari dalam rumah. Sehingga paramedis memiliki semangat yang kuat dalam menghadapi pandemi yang bisa saja mengancam nyawa ini. Di keluarga sendiri, soal ketakutan terkait wabah tersebut tentu muncul. Tapi, bagi Prismi sebagai petugas kesehatan sekaligus ibu rumah tangga, dia tentu tahu risiko dan pencegahannya. Makanya, kebersihan selalu menjadi prioritas utama jika sudah pulang ke rumah. Jika di rumah, atribut medis segala dilepas. Kembalilah ia menjadi seorang ibu rumah tangga bagi keluarganya.

"Soal takut pasti ada, tapi sebagai tenaga medis kita tentu tahu risikonya, tahu juga pencegahannya. Kami sampai rumah bersih-bersih, mandi, ganti baju dan kami usahakan jaga jarak dengan anak," tuturnya.

Sebagai tenaga medis, dia juga meminta kesadaran diri dari para warga yang memeriksakan diri ke puskesmas. Terutama soal riwayat perjalanan maupun hal-hal yang bisa berakibat fatal.

"Misalnya, ketika ditanya medis soal riwayat perjalanan, jangan sampai bohong. Sebab dampaknya bakal sangat fatal dirasakan oleh lingkungan dan tenaga medis tentunya," ungkap Prismi.

Sebagai tenaga medis, seluruhnya tentu juga memiliki rasa cemas dan ketakutan. Sebab, hal ini bisa saja menular ke keluarga tercinta. Tidak ada jaminan bebas dari hal itu. Prismi berharap, kepada masyarakat yang menjadi subjek dalam penanganan Covid-19 ini agar dapat mengikuti arahan pemerintah dan protokol kesehatan dalam penanganan virus corona.

"Yang paling utama adalah cara kita bersama menanggulangi wabah virus ini. Jika ODP, maka ikuti anjuran untuk isolasi mandiri. Kalau ini kita langgar akan berisiko ke yang lainnya. Tak hanya kita, tapi orang lain, ke keluarga tercinta juga," tuturnya.

Keluarga Bisa Memahami
Tidak ada di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) yang tercatat sebagai PDP dan tidak ada kasus yang terkonformasi positif Covid-19. Namun dekimian, bukan pula tidak berisiko kepada petugas medis yang menangani Covid-19 di daerah itu. Karena di antara yang berstatus ODP tersebut juga ada yang harus menjalani rapid test. Saat pengambilan sampel itu pula risiko mengancam bagi petugas medis yang berhadapan langsung dengan ODP. Sebab status ODP itu, akan menghasilkan apakah positif atau negatif.

Meliza Amd Kep sejak 13 Maret lalu ditunjuk sebagai orang terdepan dalam penetapan status hasil rapid test ODP. Dia salah seorang tenaga medis di Puskesmas Pekan Heran Kecamatan Rengat Barat yang membawahi 18 desa dan kelurahan.

"Di setiap puskesmas dalam wilayah Inhu dibentuk tim gerak cepat (TGC) dan di Puskesmas Pekan Heran. TGC dibagi dalam dua tim. Satu tim itu terdiri dari tiga orang yang bertugas sebagai rapid test, analisis, surveillance dan ditambah satu sopir yang bertugas melakukan penyemprotan cairan disinfektan," ujar Meliza memulai pembicaraanya melalui handpone, Ahad (19/4).

Awal ditugaskan di TGC, pihak keluarga sempat panik. Karena selain dapat berdampak kepada Meliza ibu satu anak ini, juga dapat menularkan kepada anggota keluarga. Namun setelah diberi pemahaman tentang tugas yang diemban dan demi orang banyak, pihak keluarga mulai dapat memahami. Apalagi setelah dijelaskan saat menjalankan tugas, dia bekali dan memakai APD.

"Kalau tidak ditangani, siapa lagi. Bahkan akan berdampak kepada semua orang," ucapnya.
Memang, sebutnya, APD yang dipakai tidak standar pada saat menjalankan tugas tertutama ketika pengambilan rapid test. Di mana APD yang ada dibuat dengan mengkombinasikan jas hujan. Namun demikian, setiap selesai menjalankan tugas atau saat pulang ke rumah, langsung mandi.

"Suami dan anak sudah memahami, saat pulang ke rumah, mereka tidak langsung mendekat," sebutnya.

Rela Korbankan Waktu
Media Rosa AMK (29), sebagai perawat yang mengabdi di RSUD Meranti ini harus siap-siap satu hari penuh bertahan lakukan perawatan terhadap dua PDP yang telah diisolasi di sana.  Walaupun belum positif tertular jelang keluar tes laboratorium, dua PDP tersebut sangat berpotensi tertular dan menularkan Covid-19 karena sempat memiliki gejala dan datang dari daerah tertular.

Empat tahun lebih mengabdi sebagai perawat, wabah Covid-19 menjadi momen yang paling menakutkannya sepanjang terjun ke profesi tersebut. Dengan pendapatan sebagai tenaga harian lepas (THL) di RSUD dinilai tak sebanding dengan risiko yang dia terima. Namun hak itu tak digubris, karena sebagai perawat adalah profesi yang ia nilai sangat mulia.

"Kami dituntut profesional dan berintegritas sesuai prosedur saat menangani PDP. Walau terkadang sangat letih dan menahan kondisi tubuh yang panas ketika mengenakan APD," ujar Oja, sapaan akrabnya.

Ia tidak menyangkal harus berjaga 24 jam untuk memberikan pelayanan kepada PDP. Sehingga mau tidak mau, ia mengaku terpaksa mengorbankan waktu-waktu berkumpul dengan keluarga. Di samping itu, setelah usai masa piket ia juga tetap berkumpul dengan keluarga. Dalam menghindari rasa cemas ia hanya yakin telah bekerja sesuai dengan prosedur yang berlaku.

"Kami harus yakin pada diri sendiri dan menjelaskan pada keluarga bahwa kami di sini bekerja sesuai dengan standar pelayanan dan menjalankan protap yang telah dibuat RSUD sesuai dengan surat edaran kementerian kesehatan. Itu saja," ujarnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook