PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - KOMISI II DPR RI melakukan kunjungan kerja spesifik ke Provinsi Riau, Rabu (23/11). Pada kunjungan kerja kali ini, pihak Komisi II DPR RI melakukan evaluasi terkait Hak Guna Usaha (HGU) dan tata ruang di Provinsi Riau.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengatakan, konflik pertanahan sebagai besar dipicu oleh penguasaan tanah korporasi besar yang telah menelantarkan tanah HGU dan HPL. Namun demikian, saat tanah tersebut diolah oleh masyarakat, maka pemegang hak tanah tersebut melakukan pengusiran. "Hal inilah yang kerap menyebabkan konflik horizontal antara pengusaha besar dengan rakyat kecil. Secara nasional, sekitar 65 persen lebih tanah di Indonesia dikuasai kelompok pengusaha," katanya.
Terkait persoalan HGU di Riau, pihaknya menyoroti beberapa persoalan seperti yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu. Dari dua persoalan tersebut, ditaksir kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. "Hal ini tentunya juga menghambat pelayanan pertanahan di Riau," ujarnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, saat ini luas lahan kelapa sawit di Riau terluas di Indonesia. Yakni dengan luas 3,38 juta hektare, namun yang memiliki Izin HGU hanya seluas 1,1 juta hektare. "Jadi HGU lahan sawit di Riau hanya 1/3 yang memiliki sertifikat HGU. Untuk itu, perlu kiranya ada pengukuran ulang terhadap HGU-HGU yang telah dikeluarkan oleh BPN," sebutnya.
Selain itu, pihaknya juga meminta BPN melakukan evaluasi kembali terhadap penerbitan HGU, karena berdasarkan temuan dan laporan yang pihaknya terima, banyak HGU yang terlantar dan tidak digunakan. "Bahkan ada yang memperluas lahan dan mengambil tanah-tanah masyarakat, sehingga menjadi konflik," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Riau Drs H Syamsuar MSi mengatakan, hingga saat ini masih ada 84 perusahaan perkebunan di Provinsi Riau belum mengantongi izin HGU dari total 224 perusahaan. "Perlu kami laporkan dari yang kami ketahui, dari 224 perusahaan yang telah memiliki izin perkebunan dan izin budidaya, yang memiliki HGU itu baru 140 perusahaan. Jadi masih ada 84 perusahaan yang belum memiliki sertifikat HGU," kata Syamsuar.
Syamsuar mengaku, kondisi itu sebenarnya sudah pernah disampaikan ke Kakanwil BPN Riau dan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Riau. Karena Pemprov Riau ingin adanya peningkatan pajak pusat dan daerah. "Namun itu belum terwujud. Makanya kita sampaikan di sini. Karena kita dengan Komisi II DPR RI satu suara menyelesaikan persoalan HGU," ujar Syamsuar lagi.
Gubri mengatakan, penyelesaian HGU itu merupakan kewenangan pusat dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN). Termasuk perhitungan pajak perkebunan juga kewenangan pusat. "Karena itu, melalui kesempatan ini kami sampaikan membahas persoalan ini (HGU). Juga susah disampaikan ketua tim, bahwa persoalan ini akan dibahas lintas komisi. Jadi tidak hanya Komisi II, tapi juga Komisi III, Komisi XI dan lainnya," terangnya.
Sebab menurutnya, kewenangan penyelesaian HGU ini berbeda-beda. Karena disamping perusahaan yang belum memiliki HGU, ada juga perusahaan memiliki HGU yang berkonflik dengan masyarakat. "’Termasuk juga HGU perpanjangan. Karena disitu kita harapkan ada Plasma masyarakat 20 persen. Itu yang sedang kita perjuangkan. Jadi suara kami sama dengan komisi II DPR RI,” ujarnya.
Ditanya apakah data 84 perusahaan perkebunan belum memiliki sertifikat HGU sudah final, Gubri menyatakan, jika 84 perusahaan itu data sementara Pemprov Riau. Tapi tidak memungkin jika dicek bersama bisa bertambah. "Itu data dari pemerintah daerah (Pemda). Ini kan HGU perkebunan sawit. Jadi bisa saja bertambah kalau dicek. Tadi kan disampaikan dari DPR pada prinsipnya mereka ingin ukur ulang, kalau diukur ulang maka akan ketahuan itu," tuturnya.(sol)