PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menduga ada penyimpangan dalam penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kecurigaan itu diarahkan kepada sembilan badan usaha pemegang izin usaha niaga BBM di Riau.
Kepala BPH Migas M Fanshurullah Asa mengatakan, pihaknya mengantongi semua data perusahaan pemegang izin usaha niaga di Indonesia, termasuk di Riau. Pada 2017, ada 25 perusahaan, namun pada 2018, menurun menjadi 16 badan usaha.
Artinya, ada sembilan perusahaan yang tidak lagi aktif. Hanya saja, dia tak merinci perusahaan apa saja yang sembilan itu. “Yang sembilan ini, kenapa tidak jualan? Atau berjualan, tapi tidak menggunakan BBM lagi. Ya, bisa jadi pakai gas,” kata Fanshurullah, usai penandatanganan MoU antara BPH Migas dengan Pemprov Riau, di Gedung Dang Merdu Bank Riaukepri, Rabu (17/10) siang.
Katanya, BPH Migas memiliki kewenangan untuk mengawasi pendistribusian BBM. Salah satunya mengawasi agar BBM bersubsidi tidak diselewengkan. Seperti penggunaan BBM jenis solar bersubsidi. Ada dugaan solar subsidi digunakan untuk industri, yang seharusnya menggunakan solar nonsubsidi. Jika industri menggunakan solar bersubsidi, maka terdapat kerugian negara.
“Harga solar subsidi di SPBU, Rp5.150 per liter. Yang nonsubsidi Rp10.000 ke atas. Berarti ada Rp5.000 selisihnya,” ujar Fanshurullah.
Dia menjelaskan, sembilan badan usaha pemegang izin usaha niaga BBM di Riau, menjual BBM ke industri dan perusahaan lainnya. Paling banyak dijual itu kepada perusahaan perkebunan.
“Badan usaha yang 25 tadi, dia kan menjual BBM kepada perusahaan. Seperti perusahaan perkebunan sawit, atau pabrik-pabrik lainnya. Ini mesti didata semua izin niaganya. Dihitung berapa volume yang dia pakai,” ujar dia.
Data yang diminta kepada Pemprov Riau itu, terkait dengan data konsumen dan pengguna BBM. “Jadi ketahuan itu, berapa angka yang sesungguhnya dipakai. Kalau ada selisih antara kebutuhan real dan realisasi, berarti ada masalah. Ada dugaan penyimpangan BBM subsidi,” ujarnya.
Dia menaruh kecurigaan kepada sembilan badan usaha yang tidak aktif, melakukan penyelewengan BBM subsidi. Namun dia belum bisa memastikannya. “Tidak tahu, silakan dicek ke pemda. Kalau data BPH Migas, di 2017 ada 25 perusahan, dan 2018 ada 16 perusahaan,” ujarnya.
“Kalau betul-betul sembilan ini tidak melaksanakan, ya sudah, clear. Selesai. Berarti sembilan ini bangkrut,” kata dia.
Tapi aneh jika sembilan perusahaan itu mengalami bangkrut. Sebab, pertumbuhan ekonomi di Riau cukup bagus. “Tapi saya tanya, pertumbuhan ekonomi 5,8 persen. Berarti konsisten pertumbuhan ekonomi. Kalau pertumbuhan ekonomi konsisten, berarti tidak ada masalah. Kecuali turun pertumbuhan ekonominya,” ujar dia.
Oleh karena itu, dia meminta kepada pihak kepolisian untuk menelusuri terkait adanya penyelewengan BBM subsidi ini. “Nah ini, Pak polisi mesti bantu, teman-teman wartawan mesti imbau, dicek itu. Perusahaannya siapa saja. Kita punya data BO (Beneficial Ownership atau pengendali utama perusahaan),” ujarnya.
“Kita ada datanya. Karena BPH Migas verifikasi setiap tiga bulan. Kita juga juga sudah MoU dengan polisi, meminta bantuan, jangan sampai BBM subsidi diselewengkan,” ujarnya.
Fanshurullah juga menjelaskan, badan usaha pemegang izin usaha penyimpanan BBM di Riau dengan jumlah 63 tangki, dan kapasitas 154 ribu kiloliter. Sedangkan jumlah penyalur, mulai dari APMS, SPBB, SPBU, Kompak, SPBU Mini dan SPDN, ada sebanyak 208.
Terkait dengan adanya sembilan perusahaan yang tidak aktif lagi, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau Indra Putrayana berjanji untuk menelusurinya. “Kita lagi cari, yang sembilan itu ke mana. Yang jelas mereka tidak ada laporan. Jadi kita anggap tidak aktif. Yang aktif itu cuma 16,” ujarnya.
Pertukaran Data
BPH Migas melakukan pertukaran data konsumsi pengguna dan pendistribusian BBM dengan Pemprov Riau. Pertukaran data tersebut tertuang dalam MoU yang ditandangani oleh Plt Gubernur Riau, Wan Thamrin Hasyim.
Kepala BPH Migas M Fanshurullah menjelaskan, tujuan kesepakatan tersebut untuk mengoptimalkan pemanfaatan data konsumsi pengguna dan distribusi BBM, dalam rangka meningkatkan potensi PAD dari pajak pajak bahan bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB).
Ini kata dia, terkait dalam perencanaan penentuan alokasi kuota volume jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan, serta meningkatan penerimaan iuran badan usaha dari jenis BBM umum. “Pemprov itu, PAD PBBKB Rp800 miliar. Kalau Kaltim sampai Rp1,5 triliun,” ujarnya.
Kepala Bapenda Riau Indra Putrayana menyebut, dengan dilakukannya pertukaran data, maka terlihat jika ada selisih. “Kalau memang ada selisih, di mana selisihnya. Itu yang akan kita kejar,” ujar dia.
Kata Indra, kuota BBM di Riau, sudah ada di BPH Migas. Data ini akan cocokkan dengan data penjualan akhir terhadap BBM. “Kita lihat, apakah volume yang diberikan ini sama dengan hasil penjualan akhir. Selisih ini yang akan kita coba untuk menghitung,” ujarnya.
“Kalau volume besar, pajaknya kecil, itulah yang kita cari. Beberapa bulan ke depan, kita mulai pendataan. Kita sambil berjalan, kita tak bisa ngasih waktu. Target, tahun depan bisa naik lah dari PBBKB ini,” ujarnya.(mng)
(Laporan SARIDLA MAIJAR, Pekanbaru)