JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Anomali cuaca terjadi di Riau. Saat sebagian besar wilayah di Indonesia memasuki puncak musim hujan, Bumi Lancang Kuning justru memasuki musim kemarau. Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) R Mulyono Rahadi Prabowo membenarkan fenomena tersebut. Saat ini, curah hujan di Riau sudah berada di bawah 150 milimeter (mm) per bulan. Curah hujan itu di bawah rata-rata wilayah di Indonesia.
Kondisi ini memang cukup mengejutkan. Namun, menurut Mulyono, hal ini lumrah. Sebab, Riau yang berada di dekat garis khatulistiwa ini memang memiliki pola hujan berbeda. Pola hujan ini biasa disebut pola ekuatorial. Dalam pola ini, hujan dan kemarau akan mengalami dua kali masa puncak dalam waktu satu tahun. ”Jadi memang kan ada tiga pola musim hujan di Indonesia. Pola monsun, ekuatorial, dan anti monsun. Monsun ini jelas, hujan sekali dan kemarau sekali. Anti monsun, tentu kebalikan dari pola monsun,” ungkap Mulyono, Rabu (17/2).
Dengan demikian, lanjut dia, akan ada masa ketika sebagian wilayah lainnya sedang memasuki puncak musim hujan sementara Riau sedang kemarau. Seperti yang terjadi pada Februari ini.
”Jadi memang polanya untuk pola hujan ekuatorial, biasanya, November-Januari hujan tinggi. Lalu Februari-Maret curah hujan turun. Kembali naik lagi saat April-Mei dan turun lagi Juni-September,” papar pria berkacamata itu.
Diakuinya, potensi kemarau yang terjadi memang relatif singkat. Meski begitu, Mulyono tetap meminta semua pihak mulai menaikkan kewaspadaannya. Sikap waspada ini ditujukan pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus berulang tiap tahunnya di sana. Apalagi, kemarin, pantauan sensor MODIS BMKG terlacak adanya 15 hot spot atau titik panas di wilayah Riau. Hot spot terdeteksi di Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan, Siak, dan Kota Dumai.
Pihak BMKG sendiri sudah mengomunikasikan kondisi ini dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pihak terkait. Diharapkan, ada tindakan antisipasi sebelum karhutla kembali terjadi.
”Jangan sampai kejadian di Februari 2014 terulang. Karena menganggap ini singkat, nanti pasti hujan, jadi ada kelengahan. Tahunya sampai kebablasan hingga sulit dikendalikan,” tegasnya.
Apalagi, lanjut dia, tim di lapangan baru saja menangkap basah adanya warga yang mulai melakukan pembakaran liar.
Situasi ini memang sudah masuk dalam pengawasan BNPB. Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho juga telah mewanti-wanti kepala daerah untuk siaga. Sebab, saat curah hujan terbatas maka akan lebih mudah terbakar. ”Dengan berbekal pengalaman dan instruksi Presiden Jokowi (Joko Widodo, red), tentu diharapkan semua sudah diantisipasi dengan baik,” ungkapnya.
Sutopo menjelaskan, pola hot spot di Sumatera dominan terjadi pada Februari-April (3 bulan) dan pertengahan Juni–Oktober (5 bulan). Sedangkan di Kalimantan, puncak hot spot biasa terjadi pada Juli- Oktober (4 bulan).(mia/agm/jpg)