Putus Rantai Penularan TBC

Riau | Sabtu, 17 Juni 2023 - 11:25 WIB

Putus Rantai Penularan TBC
GRAFIS (DOK RIAU POS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Tuberculosis (TBC) masih menjadi masalah notepkesehatan di dunia hingga saat ini. Meski sudah ada obatnya dan pemerintah menggratiskan biaya pengobatan, namun penyakit ini harus diwaspadai karena merupakan satu dari 10 penyebab utama kematian di dunia. Rantai penularan harus diputus.

Menurut World Health Organization (Global TB Report, 2022), estimasi jumlah orang terdiagnosis TBC tahun 2021 secara global sebanyak 10,6 juta kasus atau naik sekitar 600.000 kasus dari tahun 2020 yang diperkirakan 10 juta kasus TBC.


Dari 10,6 juta kasus tersebut, terdapat 6,4 juta (60,3 persen) orang yang telah dilaporkan dan menjalani pengobatan dan 4,2 juta (39,7 persen) orang lainnya belum ditemukan/didiagnosis dan dilaporkan. Dari total 10,6 juta kasus di tahun 2021, setidaknya terdapat 6 juta kasus adalah pria dewasa, kemudian 3,4 juta kasus adalah wanita dewasa dan kasus TBC lainnya adalah anak-anak, yakni sebanyak 1,2 juta kasus.

Indonesia sendiri berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh Cina. Pada tahun 2020, Indonesia berada pada posisi ketiga dengan beban jumlah kasus terbanyak, sehingga tahun 2021 jelas tidak lebih baik. Kasus TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus (satu orang setiap 33 detik).

Angka ini naik 17 persen dari tahun 2020, yaitu sebanyak 824.000 kasus. Insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk, yang artinya setiap 100.000 orang di Indonesia terdapat 354 orang diantaranya yang menderita TBC. Situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC di tahun 2030.

Angka keberhasilan pengobatan TBC pun masih suboptimal pada 85 persen, di bawah target global untuk angka keberhasilan pengobatan 90 persen. Sedangkan jumlah kasus TBC yang ditemukan dan dilaporkan ke Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) tahun 2022 adalah sebanyak 717.941 kasus dengan cakupan penemuan TBC sebesar 74 persen (target 85 persen). Pasien TBC yang belum ditemukan dapat menjadi sumber penularan TBC di masyarakat sehingga hal ini menjadi tantangan besar bagi program penanggulangan TBC di Indonesia.

Di Riau, kasus TBC juga cukup tinggi. Tahun 2022, Riau menempati peringkat 12 dari 34 provinsi. "Di Riau, tahun 2022 merupakan rekor capaian deteksi TBC tertinggi dengan jumlah kasus 13.007 kasus. Dalam penemuan kasus TBC di tingkat nasional, Riau dinyatakan berada urutan 12 di antara 34 provinsi lainnya," sebut Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Riau Zainal Arifin, pekan lalu.

Disebutkan Zainal, pihaknya berharap rumah sakit pemerintah dapat melakukan pelaporan TBC. Karena data tersebut diperlukan untuk langkah antisipasi ke depannya. "Hal ini menjadi perhatian oleh para direktur rumah sakit pemerintah dan swasta agar meningkatkan komitmen dalam melaporkan terduga TBC, maupun kasus TBC melalui aplikasi resmi laporan TB yakni SITB," sebutnya.

"Para direktur rumah sakit pemerintah dan swasta juga diharapkan memiliki data komprehensif  di Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM RS) yang menjadi laporan semua penyakit di rumah sakit. Dengan menemukan sebanyak-banyaknya kasus TBC maka akan kita obati sampai tuntas. Hal tersebut memberikan daya ungkit terhadap memutuskan rantai penularan," tambahnya.

Lebih lanjut dikatakannya, untuk upaya pencegahan TBC dapat dilakukan melalui beberapa cara. Diantaranya melalui pemberian Vaksin BCG. Vaksin ini termasuk dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan.

"Bagi yang belum pernah menerima vaksin BCG, dianjurkan untuk menjalani vaksinasi bila ada salah satu anggota keluarga yang menderita TBC," katanya.

Upaya selanjutnya yakni melalui pemberian masker. Ya, TBC juga dapat dicegah dengan mengenakan masker saat berada di tempat ramai, atau ketika berinteraksi dengan penderita TBC. "Perlu diingat, hindari kontak dengan penderita TBC di ruangan tertutup yang bersirkulasi buruk," pesannya.

Kemudian pencegahan TBC dapat dilakukan melalui edukasi terhadap pasien, keluarga, dan masyarakat tentang prilaku hidup bersih dan sehat serta bagaimana sehari-hari bersama pasien TBC dengan berbagai macam media.

"Selain itu, kami melakukan skrining TB pada tempat khusus (pondok pesantren, lapas, rutan dan lainnya) dan populasi khusus (daerah kumuh, padat dan miskin). Kemudian melalui pemberian terapi pencegahan tuberkulosis bagi TB laten. Untuk pencegahan TBC ini juga perlu dilakukan bersama-sama," ujarnya.

Sementara itu, untuk penanganan TBC di Riau, dapat melakukan diagnosis sesuai standar melalui pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM), memberikan obat sesuai standar yang ditetapkan, melakukan follow up terhadap pasien TBC sesuai standar. "Dan juga memastikan kontak serumah dan kontak erat sudah dilakukan skrining TBC agar mencegah penularan," ujarnya.

Jika terlular TBC, perlu waktu dan disiplin untuk bisa sembuh. Hal ini dialami seorang pasien TB berinisial R asal Kuantan Singingi (Kuansing). Ia kesulitan mengonsumsi obat rutin setiap hari. "Saya dulu pernah kena TB. Yang sulit itu minum obat. Masalahnya tidak boleh putus. Obat yang diminum juga terbilang banyak. Kata dokter, kalau putus harus ulang dari awal. Sedangkan pengobatanya hingga 6 bulan," beber R.

Hal yang sama dialami Marjuki. Bahkan, ia hampir setahun berjuang untuk sembuh. Marzuki mondar-mandir menebus obat setiap bulannya ke salah satu puskesmas di Pekanbaru.

"Abang saya itu (Marzuki) perlu waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan penyakit TBC-nya. Setiap bulan datang ke puskesmas untuk menebus obatnya. Kan obatnya itu tak boleh habis. Sampai sekitar enam bulanan konsumsi obatnya itu," ujar Ikas saudara kandung dari Marjuki kepada Riau Pos.

Pengobatan penyakit TBC tersebut tentunya tidak murah. Namun, bisa menggunakan BPJS. "Selama enam bulan minum obat yang ditebus dari puskesmas. Ya ditanggung BPJS. Gak tak boleh putus obatnya," tambahnya.

Ia menceritakan, Marzuki mengidap penyakit TBS bermula dari merasa kelelahan. Kemudian daya tahan tubuh menurun. Saat itu keluarga pun mengambil keputusan untuk mengantarnya berobat di puskesmas. Petugas medis di puskesmas pun menyampaikan bahwa Marjuki pengidap penyakit TBC dan harus menjalani tahapan pemeriksaan.

"Saat menarik napas sampai bunyi  dan bau. Tapi, sekarang Marzuki sudah sehat kembali setelah berbulan-bulan berjuang melawan sakit dan rutin meminum obat yang diberikan puskesmas," tuturnya.

Tingginya kasus TBC tahun 2022 di Riau membuat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menyusun langkah untuk menurunkan kasus. Di Pelalawan, Diskes Pelalawan membentuk Pos TB di seluruh desa se- Pelalawan.

"Meski kasus TBC di Pelalawan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (tahun 2021, red) yakni sebanyak 225 kasus, kami tetap merasakan belum maksimal. Karena pada tahun 2022 lalu jumlah kasus TBC masih cukup tinggi yakni sebanyak 782 kasus," ujar Kepala Dinkes Pelalawan, H Asril SKM M Kes kepada Riau Pos, Jumat (9/6) pekan lalu.

"Untuk itu, guna mempercepat penurunan angka TBC di Pelalawan secara signifikan, maka pada tahun 2023 ini kami targetkan seluruh desa di Kabupaten Pelalawan akan dibentuk Pos TB Desa," tambahnya.

Mantan Kabid P2PL Diskes Pelalawan ini menjelaskan, pada tahun 2017 lalu, Pos TB Desa  telah dibentuk di Kecamatan Ukui dan Teluk Meranti yakni sebanyak 20 Desa sebagai pilot project.

"Hingga saat ini, para petugas di Pos TB Desa ini, terus melakukan sosialisasi agar penurunan angka kasus TBC di Kecamatan Ukui ini dapat tercapai maksimal. Tahun 2023 ini, seluruh desa dari 10 kecamatan lainnya akan segera kami bentuk Pos TB Desa," paparnya.

Di Kepulauan Meranti, Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Meranti Muhammad Fahri SKm mengatakan sepanjang 2022 lalu, dari 3.980 suspek, 215 orang warga Meranti dinyatakan terpapar TBC, 157 orang sembuh dan 17 meninggal dunia.

Sementara sejak Januari hingga 5 Juni 2023 sudah ada 1.309 orang suspek, 54 sembuh dan 2 orang meninggal dunia. "Benar dari tahun ke tahun memang meningkat terus kasus TBC di Meranti. Mulai dari suspek sampai yang positif," ungkap Fahri.

Fahri menerangkan yang meninggal dominan dipicu oleh minimnya tingkat kepercayaan pasien terhadap upaya paramedis di lapangan. Pasalnya masih ada pasien yang tidak percaya kalau mereka terpapar TBC, dan menduga karena racun.  "Warga kita itu masih percaya dengan hal mistis. Lebih percaya sama alternatif dari pada ahli medis. Jadi mereka tidak rutin makan obat," ujarnya.

Walaupun demikian petugas medis tetap melakukan pendampingan edukasi setiap pasien 6 hingga 13 bulan setelah divonis. "Bagi yang bandel tetap didatangi petugas medis. Karena pasien ada perjanjian minum obat dari kader keluarga, orang terdekat pasien. Jadi kontrol rutin," ungkapnya.

"Kita punya target. Artinya setiap pasien batuk tiga hari tidak sembuh maka seluruh petugas diminta untuk lakukan pengecekan sampel lendir. Penjaringan suspek di lapangan maksimal secara berjenjang hingga diagnosa hasil skrining pasien diputuskan" ungkapnya.

Sementara itu, untuk penanganan kasus TBC di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Diskes tengah menyiapkan naskah akademis untuk diajukan dalam bentuk peraturan daerah (perda).

"Kami mulai dengan diagnosis sesuai standar, memastikan pengobatan sesuai standar hingga memastikan pemantauan pengobatan berjalan sesuai standar dan melibatkan Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk aktif dalam pengawasan minum obat terhadap pasien," ujar Kepala Dinkes Inhu, Elis Julinarti DCN MKes, Jumat (9/6) pekan lalu. Kendala selama ini yang dihadapi yakni banyak pasien ketika sudah dinyatakan positif TBC, merasa tidak percaya diagnosa yang ditegakkan. Bahkan ada yang merasa malu hingga tidak mau melakukan pengobatan. Parahnya lagi, banyak pasien tidak patuh ketika disampaikan pengobatan harus tuntas.

"Hal itu disebabkan ketika beberapa bulan pengobatan, pasien merasa membaik. Kemudian ada di antaranya, tidak mempercayai pengobatan yang dijalankan dan memilih pengobatan lain seperti alternatif," ujarnya.

Di Kampar, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kampar Riedel Fitri melalui Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Haryanto mengatakan, dalam upaya pengendalian serta penanggulangan penyakit TBC di masyarakat, maka Menteri Kesehatan RI menerbitkan Peremenkes Nomor 67/2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 67/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

"Merujuk kepada dua Peraturan Perundang-undangan tersebut diatas, maka Dinkes Kabupaten Kampar melakukan beberapa tahapan dari tahap memeriksa masyarakat yang terduga TBC (screening suspect), penemuan penderita (indeks kasus), program pengobatan, follow up pengobatan lalu barulah seorang pasien dinyatakan sembuh apabila sudah melewati tahapan tersebut," jelas Haryanto.

Haryanto mengatakan, bahwa program P2TB ini adalah salah satu program yang termasuk ke dalam SPM (standar pelayanan minimal). Ini  akan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah kepemimpinan, baik itu kepemimpinan kepala daerah maupun OPD dan bidang.

"Pada 2022 program P2TB Dinkes Kabupaten Kampar berhasil mencapai target SPM yang sudah ditetapkan pemerintah (100 persen) dengan perolehan 103 persen. Hal ini tentunya berkat dorongan dan support-nya rogram P2TB Dinkes Kampar menjadi satu-satunya program SPM yang mampu mencapai target 100 persen di Dinkes Kampar dari 12 program SPM yang ada di Dinkes Kampar," jelas Haryanto.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rokan Hulu (Rohul) setiap tahunnya berupaya maksimal melakukan percepatan penanganan dan pencegahan penyakit TBC yang tahun 2022 penularannya mencapai 1.138 orang. Bahkan, hingga Mei sudah Sudha 448 kasus baru muncul.

Kadiskes Rohul dr Bambang Triono menjelaskan, komitmen pemerintah daerah dalam menjalankan program pengendalian TBC di Rohul, meningkatkan SPM bagi terduga TBC tercapai 100 persen, dan memaksimalkan penemuan terduga atau suspek TBC di fasilitas pelayanan kesehatan maupun masyarakat dengan melibatkan masyarakat, kader kesehatan, komunitas dan stakeholder lainnya.

"Jika ada merasakan gejala klinis penyakit TBC, segera masyarakat memeriksakan kesehatannya ke RSUD Rokan Hulu maupun Puskesmas yang sudah ada alat TCM TBC-nya. Untuk penangan dan pengobatan di fasyankes milik pemerintah daerah gratis,"kata Bambang.

Di Dumai, Diskes Kota Dumai tidak menampik kalau tahun 2022 ada 901 warga Kota Dumai menderita TBC. Dalam upaya penekanan angka penderita TBC di Kota Dumai, Pemko Dumai melakukan penguatan komitmen bersama antara pemerintah, NGO, dan pihak swasta maupun perusahaan.  "Kami juga mengoptimalisasi upaya promosi dan pencegahan TBC kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat teredukasi dalam mencegah penularan, pengobatan, dan pengendalian infeksi kepada masyarakat secara gratis," terangya.

"Semua pengobatan pasien TBC dilakukan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun. Jika ada layanan kesehatan yang tidak mau melayani bisa melaporkan ke kami Dinas Kesehatan. Alur pelayanan kami juga sudah sesuai dengan standar pelayanan TBC sehingga pasien tidak perlu takut dan ragu," tambah Saiful.

Di Indragiri Hilir (Inhil), Kepala Dinas Kesehatan Inhil Rahmi, mengatakan pada 2022 tercatat sebanyak 933 kasus TBC muncul. Namun, tahun ini kemungkinan angka tersebut menurun. Terbukti, selama Januari-Juni 2023 baru 382 kasus muncul.

Hal itu tak terlepas dari upaya masif yang mereka lakukan dalam menekan kasus seperti memberikan edukasi, preventif kepada masyarakat. "Kita melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM), penjaringan, dan pengobatan," ujar Rahmi, Selasa (13/6).

Di Kabupaten Siak, untuk menekan kasus TBC yang dideteksi sampai ke wilayah pelosok termasuk dalam areal perkebunan, Diskes Siak tahun ini menargetkan program 9.000 skrining terhadap masyarakat untuk mendeteksi dini apakah ada yang mengidap TBC.

Wakil Bupati Siak, Husni mengatakan seluruh puskesmas dan rumah sakit tipe D, diminta untuk terus menyosialisasikan kepada warga agar segera berobat jika merasa batuk tak kunjung sembuh, dan gejala mengarah ke TBC. "Konsultasikan kepada dokter puskesmas, atas kondisi terkini yang dialami," ucap Wabup Husni.

Untuk di Kabupaten Kuantan Singingi, untuk menekan kasus TBC tahun 2022 berjumlah 445 kasus,  Diskes Kuansing terus melakukan edukasi ke masyarakat terkait penyakit TB. Selain itu, pihaknya juga melakukan skrining TB pada beberapa populasi rentan penularan TB.

"Kami imbau kepada masyarakat pedesaan melalui puskesmas dan tenaga kesehatan di desa-desa yang ada di Kuansing, termasuk investigasi kontak dan penatalaksanaan kasus TB," kata Plt Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kuantan Singingi, Eko Kapriantoni SKM yang mewakili Kadiskes Kuansing, Aswandi.

Sementara itu, di Bengkalis dari 1.105 kasus tahun 2022 lalu, 19 orang  di antaranya mengalami kematian. "Memang cukup tinggi angka penderita TB di Kabupaten Bengkalis dan yang meninggal akibat TB mencapai 19 orang dan masih tersisa ratusan orang dalam pengobatan," ujar Kadiskes Bengkalis dr Ersan Saputra melalui Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit  (Kabid P2P), Irawadi kepada Riau Pos, Rabu (14/6).

Dijelaskannya, semua penderita yang terdiagnosa TB sudah dilakukan pengobatan sesuai program. Saat ini pihaknya juga sedang melakukan pelacakan secara aktif ke masyarakat yakni melalui sekolah, kantor, perusahaan, lapas, desa-desa. Bahkan saat ini beberapa inovasi dilakukan oleh tenaga kesehatan di puskesmas baik analis kesehatan, paramedis seperti jemput dan antar dahak (jedar) dan saatnya analis keliling jemput dahak warga (aksi saling jaga).

Namun, dalam penanganan kasus TB pihaknya juga mengalami kendala yakni keterbatasan alat TCM dan catridge. Dijelaskannya, dalam penangannya Diskes sudah menginstruksi untuk mencapai target SPM 100 persen terduga TB, maka rumah sakit juga merujuk detail alamat penderita TB untuk dilakukan identifikasi kontak oleh petugas puskesmas. (sol/amn/wir/kas/ilo/epp/MX12/ind/mng/yas/ksm/fas/das)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook