SATU per satu nyawa melayang akibat Covid-19. Tentu bukan perkara mudah juga bagi petugas medis menghentikan laju virus ini menyangkut nyawa pasien. Bahkan mereka pun ikut terpapar dan nyawa-nyawa petugas medis juga jadi sasaran.
18 Maret 2020 merupakan hari pertama munculnya kasus positif Covid-19 di Riau. Setahun berlalu, hingga kemarin (16/3) terkonfirmasi sebanyak 32.908 warga Riau tertular. Virus asal Wuhan, Cina, ini pun telah merenggut 804 nyawa di Riau. Di hari yang sama pula, RSUD Arifin Achmad Pekanbaru ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan Covid-19.
Selain RSUD Arifin Achmad, ada juga rumah sakit lainnya yang jadi rujukan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.01.07/MENKES/169/2020 tentang Penetapan 132 Rumah Sakit Rujukan Penanggulangan Penyakit Infeksi Emerging Tertentu (PIET) juga memutuskan RSUD Dumai dan RSUD Tembilahan sebagai rumah sakit rujukan Covid-19.
Selama setahun, banyak kendala yang dialami RSUD Arifin Achmad. Kendala yang paling berpengaruh adalah ketersediaan alat pelindung diri (APD) dan tenaga kesehatan.
"Apalagi, ketika kasus sedang tinggi-tingginya muncul di Riau sekitar Oktober lalu," ujar Direktur RSUD Arifin Achmad dr Nuzelly Husnedi, MARS.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan Rumah Sakit (Persi) Riau ini menceritakan sejak awal persiapan RSUD Arifin Achmad mempersiapkan diri menghadapi virus corona. Nuzelly mengatakan, sebetulnya mereka sudah mulai melakukan persiapan dapat berita pertama waktu Wuhan mulai ada kasus.
"Kami kan punya dokter pendidikan spesialis paru yakni dr Yopi (Indra Yopi, red). Kami sering diskusi berdua. Saya katakan apa permasalahannya? Katanya seperti flu burung dulu. Saya bilang, kalau flu burung itu kasusnya memang tidak banyak, tapi kita repot," ujar Nuzelly.
Tapi dr Yopi kemudian mengatakan, ini bukan persis seperti flu burung. Virus di Wuhan ini menularnya dari manusia ke manusia. Nuzelly sempat pusing juga dibuatnya karena akan banyak kasusnya.
"Sedangkan dari burung ke orang saja kita sudah bermasalah. Jadi persiapan harus lebih banyak lagi," tambahnya.
Nuzelly dkk pun langsung mengecek mana ruang flu burung dulu. Perlakuannya seperti apa, peralatannya apa saja. Ternyata ruang tersebut sangat tidak layak dan tidak siap. Maka selanjutnya, disiapkan tim dan dibuatkan SK pada 24 Januari 2020. "Secara akreditasi, rumah sakit kita sudah siapkan hospital disease plan atau perencana bencana rumah sakit," ujarnya.
Pihaknya langsung rapat menyiapkan, kalau ini terjadi di Riau apa yang harus dilakukan. Banyak yang meledek itu, tapi dia menjawab, RSUD Arifin Achmad menyiapkan yang terjelek saja. Sebab, dulu satu kasus flu burung di Riau saja sudah dibuat pusing.
"Sekarang kalau banyak bagaimana? Dampaknya seperti apa? Kita siapkanlah," tambah Nuzelly.
Ternyata setelah berkembang, Nuzelly mengaku tidak semudah yang diduga. Pasalnya, untuk menangani pasien corona ini perlu ruangan khusus dan dicarikan persyaratan WHO seperti apa. Segala macamnya khusus. Sementara mereka tidak punya tempat.
"Maka saya berkelilinglah, ruang mana yang memungkinkan. Mulai saya gusur-menggusur dan ternyata masih ada ruang yang kosong yang sampai sekarang kami pakai. Awalnya, ruang itu untuk perawatan lainnya," jelasnya.
Setelah itu, RSUD merancang bagaimana menatanya. Dikerahkanlah dokter spesialis okupasi yang mengerti semua persyaratannya. Dibuatlah buat rekayasa, buat ruang pembunuhan virus karena virus yang menyebar ke mana-mana akan berbahaya bagi pasien lainnya. Makanya, virus tersebut ditarik melalui exhaust fan dan dimasukkan ke ruangan untuk dibunuh dengan ultraviolet dan setelah itu baru dikeluarkan lagi. Itu salah satu persiapan pihaknyai. Itu baru persiapan, bukan langsung dikerjakan karena baru sekadar perencanaan.
Tiba-tiba, 2 Maret disampaikan ada kasus di Jakarta dan 3 Maret langsung ada suspect di Riau. Masyarakat dibuat heboh. Pasien tersebut dirawat di salah satu rumah sakit swasta dan akan dirujuk ke RSUD Arifin Achmad. Saat itu, pihak RSUD merasa belum siap betul dan tak mau gegabah menangani pasien. Secara safety, sudah disiapkan semuanya, tapi belum yakin karena ruangan belum teruji.
"Maka saya hubungi rumah sakit swasta tersebut, jangan masukkan siang. Malam saja. Supaya kami siap dulu siang hari. Malam kami pindahkan," cerita Nuzelly.
Ternyata pasien itu hanya suspect. Namun, penanganannya harus sama dengan protokol Covid-19. Pasien tersebut hanya TBC karena gejalanya mirip seperti sesak napas dan lainnya. Jadi, itulah uji coba pertama ruang isolasi RSUD. Makanya, ketika ada kasus pertama yakni pasien M yang tertular dari Malaysia, RSUD sudah teruji bagaimana cara menanganinya dan prosesnya.
Namun, ketika ada kasus pertama, kendala tetap ada. Yang bikin Nuzelly bingung adalah siapa yang merawat pasien tersebut. Pasalnya, mereka akan masuk ke dunia berbahaya dan siapa yang sanggup? Makanya, sebagian besar perawat yang ada di RSUD saat itu ragu untuk menjawab ketika diminta bertugas menangani pasien corona. Tapi, Nuzelly dan tim RSUD tak tinggal diam. Sosialisasi pun dilakukan bagaimana menangani pasien corona.
"Tiba-tiba satu kelompok perawat datang dan menyatakan siap. Mereka merasa memang ini sudah menjadi kewajiban. Mereka bilang ke saya, mereka siap. Untuk profesi, mereka siap mati. Mereka bekerja profesional. Sempat merinding saya mendengarnya," ujar Nuzelly.
Lulusan S2 Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 1998-2000 ini juga menyebut, bahwa RSUD tetap memikirkan keselamatan perawatnya. Referensi penanganan pasien corona pun dicari. Para perawat diberikan pelatihan. Tagline safety for workers, healthy for patient pun dibuat.
"Jadi, kami harus menyelamatkan pekerja dulu, baru kesehatan pasien. Kalau mereka sakit, siapa yang akan melayani pasien. Apalagi waktu itu tidak ada insentif. Namun, dengan tips dan cara-cara seperti itu akhirnya kawan-kawan perawat bersedia dan banyak yang bergabung," tutur mantan dokter tim PSPS ini.
Awalnya Menolak
Banyaknya kasus tak memungkinkan ditangani oleh RSUD Arifin Achmad. Untuk itu, Nuzelly memutuskan mengumpulkan rumah sakit di Riau yang tergabung dalam Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Riau. Tujuannya, meminta rumah sakit tersebut juga menjadi rumah sakit rujukan penanganan Covid-19.
Awalnya banyak yang menolak, tapi dia menekankan ini mandatory. Selain sebagai Ketua Persi Riau, Nuzelly juga pejabat pemerintah. Dia ingatkan ke kawan-kawan yang tergabung dalam Persi tersebut, kalau tidak mau nanti bisa berperkara dan rumah sakit mereka jadi bermasalah oleh pemerintah. Dia katakan lebih baik pikirkan bersama-sama.
"Alhamdulillah, makin lama mereka ada komitmen. Saya bersama Kadiskes Riau (Mimi Yulianti Nazir) dan dr Indra Yopi (juru bicara Satgas Covid-19 di Riau) melapor ke Pak Gubernur Riau. Alhamdulillah sambutan baik dan malah intens memikirkan bagaimana warga Riau yang ada di Wuhan. Ini keuntungan kita punya pemimpin yang peduli dengan hal seperti ini," ujar Nuzelly.
Alhasil, sebanyak 48 rumah sakit rujukan dengan 3.376 SDM bekerja sama untuk menangani Covid-19 di Riau. SDM tersebut terdiri dari perawat/bidan sebanyak 1.243 orang, dokter 447 orang, dokter spesialis 443 orang, satpam 184 orang, analisis 154 orang, CS 152 orang, radiologi 132 orang, pemulasaran jenazah 111 orang, supir 97 orang, farmasi 74 orang, laundry 71 orang, gizi 63 orang, administrasi 55 orang, IPSRS 48 orang, pramusaji 32 orang, disinfektan 31 orang, sanitasi 29 orang dan rekam medis 10 orang.
Dari 48 rumah sakit rujukan tersebut, RSUD Arifin Achmad paling banyak menangani kasus yakni 744 orang. Diikuti RSUD Puri Husada Inhil 610, RS Eka Hospital 525, RS Awal Bros Sudirman 478, RS Awal Bros Ahmad Yani 420, Aulia Hospital 387, RS Sansani 364, RSUD Dumai 340, RSUD Tengku Rafian 309 dan RS Awal Bros Panam 253.
Makin lama, memang makin banyak kasus. RSUD Arifin Achmad menjadi rumah sakit rujukan untuk menangani kasus sedang, berat dan kritis. Maka tempatnya harus paling lengkap dan tenaga harus paling baik, dan orang yang terpilih. Namun, kendala lain muncul yakni alat pelindung diri (APD) yang minim. APD tak hanya susah didapatkan, tapi juga mahal.
"Makanya, kami prioritaskan untuk bagian THT dan dokter gigi. Kami tak mau mengeluh dan kerjakan yang bisa dikerjakan," ujarnya.
Dengan kebijakan ini, tak terjadi penularan selama enam bulan sejak kasus pertama muncul. Apalagi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di Riau. Tapi, setelah PSBB dihentikan, baru muncul kasus dan virus tersebut dibawa dari luar, bukan staf RSUD.
Belum Menyentuh Masyarakat
Vaksinasi Covid-19 di Riau sudah dimulai 14 Januari 2021 lalu. Penerima vaksin perdana adalah Danrem 031/Wirabima Brigjen TNI M Syech Ismed di aula RSUD Arifin Achmad Riau. Penyuntikan dilakukan Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) dr Juwanto Wakimin.
Vaksin perdana memang diberikan kepada 14 tokoh dan pejabat publik terpilih serta untuk tenaga kesehatan. Bahkan, vaksinasi tahap II pada 1 Maret 2021 di Gelanggang Remaja Pekanbaru. Meski demikian, pelaksanaan vaksinasi di Riau masih ditemukan beberapa kendala.
"Masih ada orang yang belum mau divaksin, walaupun memenuhi syarat. Ada yang takutlah, ada isu hoaks dan lainnya. Itu ada yang berkembang di masyarakat," ujar Juru Bicara Satgas Covid-19 di Riau, dr Indra Yopi, Kamis (11/3).
Sosialisasi vaksinasi ini belum maksimal, terutama mengenai alur bagaimana cara mengikuti vaksinasi. Yang juga penting bagaimana sosialisasi ke masyarakat umum. Sekarang banyak masyarakat, terutama lansia tak tahu cara daftar ke mana, dan bagaimana?
"Belum terlalu jelas," ujar dr Indra Yopi.
Dia menyebutkan, Dinas Kesehatan mengatakan, susah sosialisasi. Tapi, kalau tak mencapai ke masyaratat berarti belum maksimal. Tak bisa bicara keras saja. Harus dipikirkan bagaimana caranya. Pihaknya masih mendapatkan laporan orang-orang tua bingung. Perlu sosialisasi lagi, bila perlu bikin papan reklame besar di beberapa tempat keramaian cara daftar vaksin, alurnya bagaimana. "Jangan cuma di kertas dong," tambahnya.
Kendala lain menurut dr Indra Yopi adalah vaksin yang datang belum sesuai keperluan yakni 70 persen dari populasi. Jika populasi di Riau 6,7 juta maka vaksin yang datang seharusnya 4 juta lebih atau 5 juta vaksin untuk vaksinasi setahun ke depan.
Vaksin yang datang itu, disesuaikan dengan yang diberikan pemerintah pusat. Tahap awal untuk tenaga kesehatan ada 40 ribu, berikutnya 20 ribu TNI/Polri ditambah masyarakat umum dan lansia. Cuma, sekarang pun vaksin yang datang belum mencukupi untuk semuanya.
Lebih lanjut, Indra Yopi mengatakan, tahap I untuk nakes sudah hampir 100 persen. Ada 8 persen tak bisa divaksin karena komorbit (penyakit penyerta) seperti lagi hamil dan penyakit lainnya.
"Kalau tahap II belum 50 persen," ujarnya.(das)