MERANTI (RIAUPOS.CO) - Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti Gelar Uji Publik Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Tata Ruang Wilayah (KLS-RTRW), Senin (15/4/19) siang di Hall Grand Meranti Hotel. Seperti dijelaskan oleh Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti, Drs H Said Hasyim, dengan digelarnya helat tersebut hendaknya dapat mengakomodir kepentingan semua pihak dalam perencaaan dan penyusuanan RT, RW.
Menurutnya, lingkungan hidup adalah sesuatu yang harus dilestarikan karena tempat hidup dan sebagai tempat menggantung hidup. “Hari ini seluruh dunia memvonis Indonesia sebagai negara perusak lingkungan. Hal itu juga ditandai dengan Uni Eropa yang telah menyetop impor sawit dari Indonesia,” ungkapnya.
Sampai saat ini belum banyak tindakan untuk menjaga dan memelihara alam kita. “Hal ini tentu berimbas kepada masyarakat kita,” ujarnya.
Seperti kondisi lingkungan hidup di Kabupaten Kepulauan Meranti, menurut Said Hasyim telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Hal itu ditenggarai oleh kebijakan dari pemerintah pusat.
“Mereka beri ruang kepada perusahaan besar untuk mengolah hutan secara besar-besaran. Mereka beri wewenang perusahan untuk menambang di laut kita. Akibatnya terjadi kerusakan yang luar biasa, sudah terjadi perubahan ekosistem di negeri kita ini,” ungkapnya.
Hal ini juga dikatakan Said memicu cuaca panas yang ekstrim dalam waktu singkat di Kepulauan Meranti. “Seminggu saja panas sudah terbakar. Dulu waktu kita kecil sebulan dua bulan panas baru terbakar, itupun tidak separah saat ini,” ujarnya.
Dikatakan Said hal ini diakibatkan kebijakan pemerintah pusat yang dianggap memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk mengeksploitasi alam Kepulauan Meranti. “Kebijakan pemerintah yang merusakkan, ini tegas saya katakan, kenapa diberikan kepada perusahaan besar untuk mencabik-cabik hutan dan laut kita. Tapi yang ditangkap siapa, rakyat yang ditangkap,” pungkasnya.
Selain itu diperparah dengan dicabutnya kebijakan pengawasan dan wewenang pemerintah kabupaten dalam urusan kelautan, kehutanan serta pertambangan. “Padahal yang lebih paham dan tau kondisi lapangan pastinya kita, tapi semua telah diambil alih oleh provinsi dan pemerintah pusat. Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.(*4)