Terjadinya hal tersebut disebabkan karena tidak adilnya perekonomian di Indonesia. Banyak masyarakat miskin, dan produsen minyak goreng hanya ada beberapa saja. Pemerintah juga dinilai tidak mampu mengendalikan karena berhadapan dengan kolusi dan kartel. "Sehingga di antara keterbatasan dana tadi (subsidi) diikuti oleh ketidakmampuan mengendalikan pengusaha, maka terjadilah kondisi seperti ini di lapangan," ujar Edyanus.
Usai dikembalikan ke harga pasar, minyak goreng yang sulit ditemukan pada saat adanya subsidi, kini bermunculan dengan jumlah yang tidak sedikit. Menurut Edyanus yang langka bukanlah minyak goreng, tapi minyak goreng bersubsidi. Namun tidak menutup kemungkinan adanya permainan dengan mengurangi produksi ketika permintaan tinggi sehingga harga melonjak.
"Pemerintah tak lagi mampu mengintervensi kegagalan pasar, terjadi inefisiensi ekonomi," paparnya.
Terjadinya hal-hal tersebut, menurut Edyanus adalah hasil dari ketidakmerataan ekonomi yang memberikan multiplier effect negatif. Seharusnya, kata Edyanus, saat harga TBS naik, petani sawit memperoleh uang, lalu dibelanjakan, yang kemudian berbelanja untuk makanan seperti lontong, goreng pisang, dan lain-lain yang harganya bisa dinaikkan, dengan demikian distribusi pendapatan akan merata.
Namun kejadian saat ini, yang diuntungkan hanya di bidang sawit saja. Dijelaskannya ada sekitar 1,4 juta kebun sawit ilegal. Padahal jika itu didistribusikan kepada masyarakat, akan ada 700 kepala keluarga yang bisa memiliki kebun sawit dan memiliki pendapatan. Sehingga naiknya minyak goreng bukanlah masalah besar. Kenyataannya, banyak perusahaan sawit yang hanya dimiliki perusahaan, dan produsen minyak goreng pun sangat sedikit. "Terjadilah hegemoni ekonomi," ujar Edyanus.
Sebagai solusi untuk masalah-masalah tersebut, Edyanus menuturkan, pemerintah harus menggerakkan BUMN di bidang sawit yang memproduksi CPO dan mengekspornya agar dialihkan ke pasar dalam negeri untuk mendapatkan harga minyak goreng dengan harga yang lebih murah.
Namun, hal ini pastinya akan menyebabkan kerugian karena harga ekspor lebih tinggi dibandingkan harga dalam negeri, akan ada pemasukan yang hilang.
"Eksporkan harganya lebih mahal, dalam negeri lebih murah. Ada pendapatan yang hilang, tapi tidak apa-apa," ujarnya.
Selanjutnya, langkah yang dapat dilakukan adalah memberi kesempatan kepada pengusaha lokal untuk membuat pabrik minyak goring. Kemudian mengeluarkan domestic market obligation terhadap CPO secara ketat. Terutama untuk perusahaan perkebunan dan pabrik-pabrik CPO yang jumlahnya lebih besar.
"Jangan hanya untung sendiri. Ekonomi harus bisa didistribusikan likuiditasnya. Kalau tidak bisa, ya terjadi rebutan," katanya.
Selanjutnya, pemerintah harus menjaga distribusi, jangan sampai ada pemain dari spekulan. Lalu menjaga agar biaya distribusi diefisienkan. "Jangan sampai ada pungutan di jalan, dan perlancar distribusi," terangnya.
Kendati demikian, persoalan ini tak hanya diatasi oleh pemerintah saja. Partisipasi swasta juga diperlukan. Apalagi bagi yang sudah menikmati keuntungan dari kenaikan harga TBS.
"Keuntungan swasta juga sudah banyak. Saatnya jadi pahlawan masyarakat. Catatan, pemerintah jangan pungli dan korupsi," pungkasnya.
Kritik Lemahnya Pengawasan
Pemerintah bisa menjamin ketersediaan minyak goreng murah di tengah kelangkaan, namun saat ini malah dikerjai pengusaha. Ketika harga diserahkan ke pasaran minyak goreng mendadak banyak, namun dijual dengan harga tinggi, masyarakat pun menjerit.
Kondisi ini pun langsung mendapat perhatian dari anggota DPRD Kota Pekanbaru Fathullah dan dia mengecam pemerintah lemah serta tidak peduli dengan keluhan rakyat yang sedang susah. Dia pun menegaskan pemerintah lemah dalam hal pengawasan dan bernegosiasi dengan pengusaha minyak goreng.
"Kasihan rakyat menjadi korban atas permainan oknum yang mencari keuntungan. Yang kita sayangkan ketegasan pemerintah tidak ada untuk membela rakyat dan tidak berpihak kepada rakyat," kata Fathullah, Jumat (18/3).
Sebenarnya, kata Fathullah, pemerintah bisa melakukan stabilitas harga jelang Ramadan yang tak lama lagi menjelang. "Bukan justru membuat masyarakat tambah menderita, " tegasnya.
Ditegaskannya bahwa sudah jelas ada indikasi minyak goreng dipermainkan, bagaimana mungkin
Riau yang notabene penghasil minyak namun rakyatnya kesulitan mendapatkan minyak. "Tak masuk akal," ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah, khususnya Pemko Pekanbaru harus memikirkan masyarakat yang sangat susah mencari minyak goreng, segera dicari solusi.
"Rakyat kita ini sudah susah karena pandemi berkepanjangan, harusnya pemerintah berpikir meringankan, bisa dengan mengadakan pasar murah biar terbantu masyarakat, minyak curah pun tak apa yang penting minyak untuk keperluan masyarakat tercukupi," harap Fathullah lagi.
Agar persoalan minyak goreng ini tidak berlarut-larut, Fathullah menyarankan baik itu Pemerintah Kota Pekanbaru, Provinsi Riau maupun Pemerintah Pusat, segera melakukan aksi nyata.
"Tindak tegas para pelaku penimbun minyak goreng dan oknum-oknum yang terlibat dalam menyusahkan masyarakat dengan permainan minyak goreng. Jangan hanya lips service saja," tuturnya.
Sampai hari ini, kata Fathullah, belum ada penindakan terhadap pelaku penimbunan yang dilakukan pemerintah. "Jadi kita sebagai masyarakat belum melihat langkah nyata dan langkah tegas dari pemerintah untuk membela rakyatnya, menangkap para pelaku penimbunan yang mengakibatkan minyak goreng sulit didapatkan masyarakat," tegas Fathullah.(sol/ayi/kom/yas/ind/anf/gus/ted)
Laporan: TIM RIAU POS, Pekanbaru