WARGA KOTO AMAN DAN SAKAI

Menunggu Solusi Pemprov

Riau | Minggu, 10 Maret 2019 - 12:57 WIB

Menunggu Solusi Pemprov
DI BAWAH JEMBATAN LAYANG: Masyarakat Koto Aman dan Suku Sakai tinggal di bawah jembatan layang Jalan Jenderal Sudirman simpang Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru, Sabtu (9/3/2019).

(RIAUPOS.CO) - Pemandangan berbeda terjadi di flyover atau jembatang layang  Jalan Jenderal Sudirman simpang Jalan Tuanku Tambusai sejak Rabu (6/3) hingga Sabtu (9/3) petang. Tiga spanduk terpajang di pinggir pembatas. Setiap spanduk berbeda tulisan.

Para penjaja makanan dan minuman pun turut serta berjualan di sana untuk mengisi perut masyarakat dari dua daerah itu. Sejak, Selasa (6/3) petang, warga Koto Aman sudah sampai di Pekanbaru diantar mobil colddiesel yang berjumlah 11 unit. Lalu malam harinya tidur di trotoar Jalan Cut Nyak Dien. Sebanyak 642 orang, tidak termasuk anak-anak. Lalu paginya melakukan aksi dari Kantor Gubernur berjalan kaki menuju Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) dulu Purna MTQ. Mereka menuntut 1.500 hektare lahan yang diduga dirampas PT SBAL.

Baca Juga :Dirikan Tenda Tanggap Darurat di Wilayah Banjir

Belum ada kepastian dari pihak pemerintah provinsi, warga Koto Aman tidak akan kembali ke rumah. ‘’Kami tidur di bawah flyover sejak Rabu malam hingga Ahad malam. Lalu Seninnya akan melakukan demo besar-besaran di depan Kantor Gubernur,’’ ucap Ketua Persatuan Koto Aman Menggugat (PKAM) Ifan Saputra pada Sabtu (9/3) petang.

Untuk mengisi waktu di flyover, warga Koto Aman melakukan aktivitas dengan tiduran di gelaran tikar atau kain. Begitu juga dengan warga Sakai. Tak sedikit yang menggunakan tas untuk ganjalan kepala, meski ada yang membawa bantal. Ketika waktu salat tiba, mereka pergi ke Masjid Ar-Rahman. Begitu juga ketika mandi dan membuang hajat.

Masalah makan dan minum biaya sendiri, biasanya pergi ke Pasar Cik Puan atau ke rumah makan dan kedai sekitar.

“Untuk Sabtu, bergantian yang tidur di sini. Beberapa orang pulang untuk mengambil bekal makanan. Ahad sudah kembali ke Pekanbaru lagi,” tambah Ifan.

Ifan dan masyarakat Koto Aman menuntuk PT SBAL agar segera memberi data pasti HGU. “Hanya 608,5 hektare yang diganti rugi. Sementara ada sekitar 1.500 hektare yang tidak diganti rugi. Maka dari itu, kami menuntut untuk segera diselesaikan kasus ini,” sambungnya.

Lebih lanjut, Ifan menyampaikan kalau memang perusahaan sudah mengganti rugi, tolong buktikan datanya. Ini sudah kami tuntut sejak 2007. Namun, sampai sekarang PT SBAL belum menunjukkan data tersebut.

Kemudian, Ifan tuturkan, kami memiliki peta HGU dari BPN Nomor 1 tahun 1994 yang ada sejak 2007. Tapi peta yang ditunjukan Pemda Kampar waktu pertemuan pada 8 Maret 2019 itu beda dengan yang ada. “Itulah yang menjadi keanehan kami. Nomor dan tahun sama, tapi denah petanya beda,” ucapnya.

Ifan mengungkapkan terjadi perbedaan nama yaitu pada peta yang kami punya Kampung Kota Batak. Namun, yang ada di Pemda Kampar, namanya berubah menjadi Desa Koto Aman.

Selanjutnya, di sertifikat HGU PT SBAL itu terletak di Desa Kota Bangun, Kota Baru dan Suka Maju. Sementara lokasi yang dikelola perusahaan Koto Aman dan Koto Baru.

“Kemudian waktu Sekda Kampar menunjukan peta, bahwa Desa Sei Kijang masuk dalam HGU PT SBAL, Sekda menyuruh kami untuk diam, karena takut masyarakat Desa Sei Kijang demo lagi,” ucapnya.

Pada 8 Maret 2019, secara terpisah selain melakukan aksi di Kantor Gubernur, juga melakukan aksi di Kantor Bupati Kampar.

Pada pertemuan itu Sekda Kampar memberi tiga poin kepada utusan masyarakat Koto Aman, menyuruh jalur hukum, tapal batas dan ganti rugi.

“Kami akan tetap di flyover sampai Gubernur Riau menyesaikan atau mencarikan solusi permasalahan ini,” jelasnya.

Terpisah, warga Suku Sakai sejak Kamis pagi tiba di Pekanbaru untuk menuntuk Pemerintah Provinsi Riau terkait pengembalian lahan Sakai. Mereka datang dengan menggunakan mobil yang berjumlah enam unit. Lalu malam harinya tidur di flyover yang bersebelahan dengan warga Desa Koto Aman.

Miris, kondisi anak-anak bermain tanah. Bahkan tak berpakaian lengkap. Mereka melakukan itu, agar tanah kelahirannya sekitar 3.900 hektare bisa kembali  ke tangan mereka. Sebab PT Ivo Mas Tunggal sudah mau mengembalikan lahan, kenapa pemprov tidak mau.

Cukup berbeda. Di pembatas besi flyover tempat Suku Sakai tinggal, dijadikan sebagai jemuran, celana, baju dan lainnya terlihat jelas. Mereka mencuci baju di Masjid Ar-Rahman. Sehingga pada Jumat (7/3) kamar mandi perempuan ditutup. Namun, hari ini sudah dibuka lagi.(*3/mng)

Laporan MARIO KISAZ, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook