(RIAUPOS.CO) -- Persiapan Pilkada Serentak 2020 semakin dimatangkan. Kemarin (8/7) Komisi II DPR mengundang KPU dan Bawaslu dalam rapat dengar pendapat (RDP) di ruang rapat Gedung Nusantara. KPU menetapkan hari H pencoblosan pilkada 2020 berlangsung 23 September. ’’Persisnya Rabu (10/7),” kata Ketua KPU Arief Budiman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Disampaikan, pihaknya telah menyusun rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan pilkada 2020. Acuannya adalah Undang-Undang (UU) nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Total ada 270 daerah yang akan menggelar pilkada serentak. Terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Salah satu wacana yang berkembang di rapat tersebut terkait waktu kampanye yang dinilai terlalu lama. Yaitu 81 hari. Setelah KPU menetapkan calon 28 Juni, tiga hari kemudian kampanye resmi dimulai. Nah, waktu kampanye yang terlalu lama menuai protes kalangan dewan.
Anggota Komisi II Sudiro Asno meminta waktu kampanye diperpendek. Dipotong menjadi 70 hari. Pertimbangannya, kampanye yang panjang akan menguras kantong para kandidat yang bertarung. ’’Kita belajar dari pemilu 2019 lalu, kampanye sangat melelahkan,” kata Sudiro Asno.
Dia meminta waktu kampanye bisa diperpendek jadi 70 hari. Atau bahkan lebih pendek lagi menjadi 60 hari. ’’Kasihan kalau lama-lama. Biaya kampanye besar,” ujar legislator asal Indramayu, Jawa Barat (Jabar) itu.
Terkait permintaan itu, Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan penyusunan tahapan itu sudah dipertimbangkan dengan matang. Sehingga perubahan jadwal bisa mengubah tahapan yang lain. Mulai proses lelang logistik, sosialiasi hingga distribusi logistik. ’’Dengan rentang waktu yang terlalu pendek, khawatir menggangu tahapan. Sebab kami juga butuh sosialisasi dan pengadaan logsitik,” papar Arief.
Belum lagi setelah penetapan calon. Bisa jadi akan muncul gugatan oleh calon yang tidak terima karena tidak tidak lolos persyaratan. ’’Tidak ada jaminan. Jangan-jangan setelah penetapan muncul sengketa. Itu harus kita antisipasi juga,” imbuhnya.
Pihaknya juga butuh waktu untuk memproduksi logistik.Tanpa penetapan pasangan calon, KPU tidak bisa memproduksi logistik pilkada. Seperti logistik alat peraga kampanye (APK) yang memuat gambar pasangan calon (paslon).
Rekapitulasi Elektronik
Penerapan rekapitulasi elektronik (e-rekap) juga muncul dalam rapat tersebut. Wakil Ketua Komisi II Herman Khaeron menyampaikan sistem e-rekap memungkinkan dilakukan pada pilkada 2020. Alasannya, e-rekap dinilai lebih efisien dan efektif. ’’Kita harus mulai sebagai simulasi pemilu 2024,” kata Herman.
Acuan e-rekap bisa merujuk pada sistem informasi perhitungan (Situng) pada pemilu 2019. Namun sistem tersebut sangat tergantung pada kemampuan masing-masing daerah. Menurutnya, perlu beberapa daerah tertentu yang menjadi pilot project. ’’E-rekap tidak semua daerah bisa menerapkan. Tetapi khusus untuk daerah yang siap saja,” papar Herman Khaeron.(mar/das)
Laporan JPG, Jakarta