Oleh RIYONO GEDE TRISOKO
DI AKHIR-akhir ini sering kita mendengar tentang bagaimana kegiatan bisnis yang totality bergantung kepada teknologi, dan hal tersebut termasuk di bidang pariwisata. Salah satu perubahan yang harus kita sikapi bersama selaku pebisnis pariwisata adalah telah terjadinya perubahan perilaku pada konsumen, pada konsep berwisata, konsep menikmati dan konsep cara menikmatinya, mengapa, karena segala bentuk usaha kepariwisataan akan penuh harap berujung kepada bukan hanya penguasaan pemahaman konten, tetapi juga konteks, tentu dengan closing yang bagus. Karenanya tugas kita lah selaku pebisnis bidang pariwisata menciptakan nilai produk yang selalu dapat dimanfaatkan.
Ada tulisan disebuah majalah ilmiah populer yang mengatakan demikian "hadir secara online itu penting, tapi itu bukan segala-galanya untuk berbisnis", jelas ini mengingatkan kita kepada marak bergugurannya bisnis star up di masa sedang pertumbuhan. Dan di catatan pinggir dari awal maupun pada jurnal dan buku saya sudah mengulas akan perlunya mengambil jarak dengan perilaku populer yang diciptakan teknologi. Mengapa, sederhananya dapat dikatakan bahwa, teknologi tidak dapat merubah rasa tetapi lebih mempengaruhi berpikir tentang rasa.
Tanpa disadari atau tidak pendemi Covid-19 telah mengubah perilaku masyarakat, baik pada pelaku bisnis maupun pada pasar, mengapa bisa, dikarenakan kecemasan akan rasa takut dan keterbatasan telah menumbuhkan rasa nrimo yang kreatif dengan mengolah emosi dan mood, di mana masyarakat konsumen mencari yang murah, dekat dan meriah, sedangkan masyarakat produsen membuat yang praktis dan terjangkau.
Mudah ditiru, mudah usang menjadikan usaha jasa kepariwisataan menjamur bak tumbuh di musim hujan, situasi yang demikian ini mengharuskan setiap bentuk bisnis harus memiliki bahan baku yang unik, yang dengannya menjadi kekuatan. Proses yang demikian penting sekali dikuasai dan dieksplorasi guna mengembangkan pengaruh pasar.
Terlebih pascapandemi ini, di mana perlunya ditemukan sebuah kata yang mampu menghubungkan antara euforia pasar dalam kapasitas operasional dan tata pelayanan agar tetap terjaga semangat berusaha dan bukan hanya untuk kepuasan yang tinggi, tetapi juga terjaga keberlangganannya.
Oleh karenanya diperlukan kejelian yang bukan saja untuk bertahan, tetapi juga mampu memperluas pasar. Pada tulisan ini dapat penulis kelompokkan dalam beberapa langkah. Pertama, pascapandemi Covid-19 secara sosial psikologi terjadi dialog yang kuat antara mengatasi kesibukan, mengatur pendapatan dan menangani kecemasan, yang akhirnya membentuk moderatisasi pilihan. Dan pada sisi ini bermunculanlah berbagai destinasi baru maupun terbarukan hingga kepada beragam jenis wisata, khususnya kuliner. Kejelian mengelola.
Kedua, kekuatan bahan baku. Bagaimanapun itu me too maupun foMo dipilih adalah karena dinilai penting untuk membangun produksi yang berbasis kepada dukungan alam terdekat. Mengapa karena deliveri sumber bahan baku diyakini berpengaruh kepada daya dukung eksplorasi dan kemanfaatan dalam produksi jasa kepariwisataan. Karena dalam contoh yang sederhana, sebuah jasa kuliner menjadi mudah dikelola dengan segala situasi jika proses mobilisasi bahan itu mudah dan murah.
Ketiga, kita harus meyakini bahwa fenomena tentang instrumen personal telah membentuk perilaku unik dalam pasar, sekalipun pada pasar yang sama, karena perilaku akan membentuk atau menghasilkan ragam keperluan, dan ini telah menjadikan sebuah issue sebagai magnet dalam bisnis kepariwisataan. Maka dari itu berbagai pemikiran tentang perlunya agility menjadi topik yang menarik dan penting pada berbagai lini bisnis.
Bisnis kepariwisataaan yang mudah ditiru, mudah usang dan sangat bervariasi tentunya memerlukan kepekaan yang tinggi, agar tiap pengembangan usaha bukan menjadi bakar-bakar uang dan bukan pelampiasan hasrat atau emosional kapitalisasi semata, tetapi lebih sebagai pewarisan nilai berkehidupan.
Perkembangan destinasi sudah barang tentu akan berkaitan erat dengan karakter SDM yang ada, mengapa, karena karakter SDM pada akhirnya akan membentuk karakter produksi, yang antitesanya akan membentuk karakter keperluan yang ujung-ujungnya berpotensi menjadi daya tarik. Dalam konsep seperti ini kita selaku pebisnis harus banyak melakukan upaya-upaya di dalam menangkap fenomena yang muncul. Fenomena yang bagaimana, di dalam pariwisata ada beberapa bagian yang harus kita lihat dengan jeli sebagai cara penikmatan.
Orang cenderung melakukan kegiatan pariwisata saat ini ada tiga bagian. Pertama, adalah leisure time atau waktu luang, ini terjadi dikarenakan saat ini berwisata sudah menjadi keperluan dan setiap waktu luang harus diisi sebagai kemanfaatan diri. Karenanya pariwisata harus bisa memahami karakter keperluan masyarakat, tentunya ini dihubungkan dengan karakter produk yang kita miliki.
Kedua, sisi emosional. Orang melakukan kegiatan pariwisata itu ingin memuaskan keperluan-keperluannya, dan secara psikologi semakin lebih unik, oleh karenanya munculnya tekanan seperti tidak ingin tertinggal, ingin selalu di-updete, ingin selalu dikenal, itu adalah sebuah sisi potensi sendiri dan pengembangannya harus kita pahami. Mengapa, memiliki hubungan psikologi antara apa yang menjadi market kita dan apa yang menjadi kemampuan kita mendistribusikan produk adalah bagian dari rezeki Yang Maha Kuasa.
Ketiga, yang harus dihatikan adalah bagaimana perubahan lingkungan yang mempengaruhi persepsi orang terhadap bisnis karakter produk kita. Di dalam menyikapi tiga hal tersebut di atas maka pilihan dalam menggunakan teknologi sebagai strategi komunikasi perlu dilakukan pengkajian ulang. Ini mengapa, ketergantungan online itu tidak bisa dipungkiri tetapi pembinaan kepada kualitas produksi itu bukan hanya kepada cara kita membangun produk tetapi juga komunikasinya. Oleh karena itu aktivitas yang menopang produk destinasi yang dimiliki harus selalu dikemas dalam sebuah pesan daya tarik.(nto/c)