Saya maniak dengan masakan yang pedas. Sangat pedas. Kalau makan tidak ada rasa pedas, tidak nendang. Tidak nikmat. Dan karena suka dengan pedas, membuat saya curiga badan sudah kemasukan Covid-19.
Catatan: AHMAD DARDIRI
SEBELUM melakukan swab, saya sudah curiga bahwa ada yang salah dengan tubuh saya. Kebetulan, saya dikarunia tubuh yang selalu memberikan reaksi jika ada yang tidak beres. Entah kalau yang lain. Tapi harusnya, setiap tubuh akan bereaksi ketika ada benda asing masuk. Mungkin saja ada yang merasa dan mencurigai ada sesuatu. Sementara, ada yang merasakan tubuhnya bereaksi terhadap benda asing, tapi tidak mempedulikannya. Dianggap sepele saja.
Saat itu, lidah saya terasa lebih peka dengan rasa pedas. Sekira satu minggu sebelum swab pada 6 Oktober 2020, setiap makan makanan yang pedas, terasa lebih menggigit. Tapi hanya di lidah saja. Pedasnya tidak terasa di perut. Dan peka terhadap pedas itu berlangsung cukup lama. Menjelang swab kedua, baru rasa peka itu berakhir.
Kemudian, lidah juga terasa agak gatal. Tapi bukan gatal
yang menyiksa. Gatal yang susah dituliskan dalam sebuah kalimat. Gatal yang tak bisa digaruk. Kemudian, di lidah ada bercak merah seukuran uang koin 500 rupiah. Tapi bentuknya lonjong, tidak bulat persis.
Respons tubuh yang seperti itu, tidak sama dengan informasi yang selama ini berkembang. Dalam berita, flyer, spanduk dan lain sebagainya, tanda terserang Covid-19: demam, pilek, batuk, hilang rasa, hilang penciuman. Jika sudah agak parah, gejala sampai sesak napas dan pingsan. Tapi yang saya alami tak satupun yang sama dengan gejala terpapar Covid-19.
Daripada menduga tanpa kepastian, swab jadi pilihan. Dan terbukti dari swab yang dilakukan di Puskesmas Siak Hulu, Kampar, saya positif terpapar Covid-19. Itu sebabnya saya sudah tidak kaget dengan hasil swab.
Gejala yang tidak sama dengan gejala yang umum, membuat saya yakin bahwa orang tanpa gejala (OTG) itu tidak pernah ada. Semua orang berpotensi menjadi OTG. Hanya saja, banyak yang tidak tahu kalau menjadi OTG. Atau tidak peduli dengan gejala yang dialami. Atau takut memeriksakan diri. Takut swab yang sering diberitakan sebagai tindakan menakutkan dan menyakitkan.
Hanya mereka yang tak pernah berinteraksi dengan manusa lain yang bisa terhindar dari Covid-19. Itu sebabnya salah satu pencegahan adalah berdiam di dalam rumah. Tapi, manusia modern apakah bisa begitu? Tidak keluar rumah untuk bekerja. Karena penasaran dengan terminologi OTG, iseng saya bertanya ke beberapa karyawan yang juga positif Covid-19. Apakah betul tidak ada gejala sama sekali? Dan ternyata semuanya memiliki gejala. Meskipun terhitung ringan.
"Saya kan pernah izin dua hari Mas. Demam. Saat itu saya kira vertigo," kata Haf (saya inisialkan namanya). Salah satu karyawan saya yang belakangan hasil swab-nya juga positif. Tapi beruntung karyawan yang positif Covid tidak ada kaitannya dengan urusan cetak koran.
Kemudian, karyawan lain bernama Alp yang juga positif Covid-19 pada akhirnya mengakui pernah demam. Tapi tidak tinggi suhu badannya.
"Saya kira demam biasa. Soalnya kena hujan," akunya. Kam juga begitu. Pernah tidak masuk kantor karena demam. Dan terbaru, ipar saya yang demam usai kena hujan, hasil swab-nya juga positif. Terhadap karyawan yang positif itu, perlakuan karantina mirip dengan saya. Perusahaan juga menyediakan vitamin untuk dikonsumsi. Kemudian, dibelikan susu MyBio untuk diminum. Saat masa perawatan, kandungan colostrum di susu MyBio bisa menambah imun tubuh. Dukungan moril juga diberikan lewat komunikasi. Sama seperti saya yang juga mendapatkan dukungan moril, seperti dari komisaris Riau Pos, Pak Amril Noor. Beliau intens mengecek kondisi saya.
Dengan 4 contoh pasien yang positif Covid ditandai dengan demam, ditambah saya yang lidah terasa peka dengan pedas, memperkuat dugaan bahwa OTG tidak ada. Semua yang terpapar Covid pasti bergejala. Hanya disadari atau tidak, jujur dengan kondisi badan atau tidak.
Jadi, segeralah swab jika tubuh terasa demam. Lebih baik mengetahui dengan cepat positif atau negatif Covid-19. Jangan pertaruhkan nyawa dengan tidak melakukan swab. Hanya karena takut swab itu sakit. Padahal tidak. Itu hanya kata mereka yang tak pernah swab. Anak saya yang berusia 6 tahun saja ikut swab dan tidak mengeluh kesakitan.
Dan bagi yang tidak pernah terserang Covid-19, jangan kucilkan pasien Covid-19. Dukungan moral Anda bisa meringankan beban dan tidak memperburuk kondisi pasien. Jangan jadi pembunuh terselubung dengan mengucilkan tetangga yang sedang menjalani masa karantina mandiri di rumahnya.***