PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah II Sumatera menemukan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Kepala Gakkum Wilayah II Sumatera Eduwar Hutapea mengatakan, limbah itu ditemukan di dua perusahan bergerak di industri hilir pengolahan kelapa sawit di Dumai. Yakni di areal grup bisnis PT Wilmar Nabati Indonesia di Kawasan Industri Dumai (KID) jumlahnya mencapai 5.000 ton. Sedangkan di PT Sari Dumai Sejati (SDS) belum dilaksanakan pengukuran berapa limbah B3-nya.
“Limbah berbahaya yang kami temukan itu berupa sisa pembakaran batu bara atau fly ash dan spent bleaching earth,” kata Eduwar di Pekanbaru, Jumat (4/5).
Limbah spent bleaching earth merupakan jenis limbah terbesar hasil pengolahan kelapa sawit yang mengandung residu minyak tinggi sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Sementara limbah fly ash merupakan limbah hasil pembakaran batu bara yang sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi bahan konstruksi bangunan. Eduwar mengatakan limbah itu menumpuk di satu lahan yang tidak memiliki izin, sehingga berpotensi merusak lingkungan sekitar.
Dia menyebut, pihaknya belum dapat menyimpulkan jenis kerusakan lingkungan akibat keberadaan limbah B3 itu. Namun, dia mengatakan dalam waktu dekat akan memeriksa dampak kerusakan lingkungan dengan memintai keterangan sejumlah ahli.
“Ini yang kami masih terus selidiki dengan meminta keterangan saksi ahli terkait dampak lingkungannya,” ujarnya.
Seluruh areal lahan yang menjadi lokasi penumpukan limbah tersebut, kata Eduwar, saat ini telah disegel penyidik aparatur sipil negara (PASN). Selain itu, dia juga mengatakan pihaknya turut memeriksa petinggi perusahaan multinasional tersebut sebagai bagian dari upaya penyidikan. Hasil pemeriksaan sementara, dia mengatakan limbah tersebut telah menumpuk sejak 2012.
“Artinya sudah enam tahun limbah itu tertahan di areal yang tidak memiliki izin,” tuturnya.
Dia menjelaskan pihaknya akan membawa temuan tersebut ke ranah pidana, karena diduga kuat telah melanggar pasal berlapis. Di antaranya pasal 98 jo pasal 102 jo pasal 103 jo pasal 104 Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ancaman hukuman penjara maksimal tiga tahun penjara dengan denda minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp3 miliar,” ujarnya.
Terkait hal itu, pihak PT Wilmar mengaku akan kooperatif apa yang akan dilakukan pihak Gakkum KLHK Wilayah II Sumetera. “Mengenai izin-izin kami sudah ajukan sampai ke kementerian dan saat ini sedang dalam proses,” ujar Humas PT Wilmar Marwan Anugrah kepada Riau Pos.
“Untuk TPS yang ada di dalam area KID sangat jauh dari pemukiman masyarakat, “ terangnya.
Sedangkan, untuk lahan pemulihan akan dijadikan lahan parkir kawasan bagi truk tangki dan angkutan kargo lainnya.
“Perusahaan mulai dari awal berdiri sampai saat ini berkomitmen untuk menjaga lingkungan. Karena kami tidak mau hanya karena merusak lingkungan operasional perusahaan jadi terganggu dan akibat dari itu akan merugikan semuanya. Dalam hal ini manajemen dan karyawan,” terangnya.
Sedangkan Humas PT SDS Kameru mengatakan, persoalan tempat penampungan limbah itu permasalahan pada 2016 lalu. Pihaknya sudah memperbaiki.
“Kami sudah kirimkan surat terkait dengan apa yang diinginkan KLHK, “ terangnya.
Ia merasa heran kenapa hal itu kembali muncul. Padahal pihaknya saat ini menunggu KLHK mengecek tempat tersebut.
“Kami menunggu mereka turun mengecek itu,” ungkapnya.(hsb/dal)