PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Ratusan mahasiswa Universitas Riau (Unri), melakukan aksi demo di Mapolda Riau, Senin (3/9) petang. Mereka menuntut agar Polda Riau mengusut tuntas dugaan persekusi terhadap Neno Warisman. Polda Riau diberi tenggat lima hari kerja.
Aksi dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Sebelumnya, mereka melakukan aksi di Tugu Zapin, Jalan Jenderal Sudirman. Di seputar tugu itu, mahasiswa membakar tiga ban. Api membara, asap hitam mengepul. Aksi ini sempat membuat kemacetan di jalan itu.
Usai di Tugu Zapin, mereka bergerak ke gerbang Mapolda Riau. Di sini, mereka kembali melakukan orasi. Mereka hendak menemui Kapolda Riau Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo. Namun, saat itu Kapolda tidak berada di tempat. Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unri Randi Andiyana mengatakan, aksi ini dilakukan atas perlakukan terhadap tamu di Riau, yang dipulangkan paksa pada Sabtu (25/8) lalu. Tamu itu adalah Neno Warisman, yang merupakan salah satu penggagas gerakan #2019GantiPresiden.
Dia menyebut, pemulangan dan penghadangan Neno Warisman itu, adalah bentuk pembungkaman demokrasi. Ini sekaligus penodaan terhadap nilai-nilai budaya Melayu.
“Kita tahu, orang Melayu dikenal orang yang santun dan ramah,” ujarnya.
Mereka menilai, pemulangan dan penghadangan Neno Warisman saat itu, melibatkan aparat kepolisian dan Kepala Badan Intelejen Daerah (Kabinda) Riau.
“Dalam hal ini, oknum BIN Daerah Riau melakukan tindakan represif terhadap tamu yang datang ke Riau. Tindakan represif ini mencederai kebebasan berdemokrasi di negeri ini,” ujarnya.
Dalam hal ini, kata dia, oknum BIN Daerah Riau itu, telah melakukan unprosedural. Kabinda dinilai telah menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan tindakan represif. Jelas katanya, itu sudah melanggar aturan-aturan yang berlaku.
“Oknum itu melanggar Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yakni pasal 6 ayat 5, dan pasal 18 huruf (c),” ujarnya.
Pada Pasal 6 ayat 5 disebutkan bahwa, dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi harus menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia. Kemudian oknum Kabinda itu dinilai telah melanggar kode etik intelijen negara. Pada pasal 10 ayat 1 disebutkan bahwa personel intelijen negara yang melakukan pelanggaran kode etik intelijen, dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi dan/atau dikenakan hukuman disiplin.
“Kami menuntut BIN menindak Kabinda yang telah melanggar kode etik. Pelanggaran berat kode etik. Kami minta untuk diberikan sanksi berat,” ujar Randi.
Dia juga menyebut, penghadangan dan pemulangan Neno Warisman itu, telah mengangkangi hak mengemukakan pendapat. Padahal hak berdemokrasi, sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3. Riau yang merupakan negeri Melayu, kata Randi, juga sangat menghormati, santun, dan memuliakan tamu. Tetapi insiden 25 Agustus itu, dinilai telah menodai budaya Melayu itu. Oleh karena itu, mereka menyampaikan empat poin pernyataan sikap. Presiden BEM Unri yang langsung membacakan pernyataan sikap tersebut.
Pertama, mengecam keras segala tindakan represif, pembungkaman hak demokrasi dan menodai nilai-nilai budaya Melayu. Kedua, mendesak kepada oknum yang melakukan tindakan represif, serta menodai nilai budaya melayu dan membungkam hak demokrasi untuk segera meminta maaf secara terbuka kepada seluruh elemen masyarakat Riau. Ketiga, menuntut BIN menindak tegas oknum BIN daerah yang melakukan pelanggaran kode etik dan pembungkaman hak demokrasi. Keempat, menuntut Kapolda Riau, mengusut tuntas oknum yang melakukan tindakan represif dan pembungkaman demokrasi pada 25 Agustus 2018 dengan waktu yang ditentukan selama lima hari kerja, sejak pernyataan sikap dibacakan.
“Jika tidak ditindaklanjuti, kami siap kembali menemui secara langsung, bertamu kembali ke Polda Riau, menemui Kapolda. Kami juga mengajak pemuda lain, termasuk BEM lainnya, serta ormas serta OKP lain. Kami akan membawa nama besar mahasiswa Riau,” ujarnya.
Di akhir aksi, mereka menyerahkan pernyataan sikapnya kepada perwakilan Polda Riau. Sekitar pukul 18.10 WIB, mereka membubarkan diri.(dal)