PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Itu juonyo, sebelas dua belas istilah populernya dalam bahasa melayunya, itulah yang mungkin akan populer ditulisan ini. Pada saat menjelang akhir tahun ini, kecemasan para pelaku usaha tidak terkecuali bagi para usaha pariwisata, akan terbayang minimal akan dua hal pertama adalah bisakah kita mengambil benefit disaat momen peralihan akhir tahun, kemudian yang kedua, bisakah kita melewatinya dengan aman tahun 2023 yang demikian ceritanya itu.
Pada catatan pinggir keperiwisataan bagian kesebelas ini penulis hendak berbagi pemikiran yang mudah-mudahan bisa memberi manfaat yang banyak kepada para pembaca, mengapa, karena bagian terpenting yang harus kita perhatikan bersama adalah bahwa kita sudah menguasai betul apa yang menjadi kekuatan produk atau usaha kita, termasuk bagaimana cara menguasai market pasarnya.
Pergeseran tahun yang akan terjadi tentunya tidak serta merta merubah pangsa pasar, dan tidak pula kontan merubah kepada kemampuan kita mengemas dan mengkomunikasikan antara kedua itu. Hanya saja bagian yang hendak penulis sampaikan di sini adalah, bahwa melewati dua hal besar di depan tadi, penulis memberikan harapan akan terbersitnya optimis yang perlu selalu bisa dikembangkan, tentunya dengan kita mengamati, mempelajari dan memanfaatkan apa-apa di sekitar kita, mengapa, karena ada pesan dari setiap peristiwa di mana kita hadir.
Pertama, yang harus kita ketahui adalah, ada sebuah riset yang cukup menarik yang bersumber dari yakni Harvard University bahwa kekuatan digital itu tidak lagi sepenuhnya bisa menjadi sandaran utama bagi para pelaku usaha, mengapa, karena ternyata kekuatan digital hanya lebih mengarahkan kepada pembentukan opini bukan sebuah yang jaminan akan adanya cashflow, oleh karenanya kemudian hal ini hanya berujung pada timbulnya pemahaman yang berbeda beda terhadap produk, sehingga dapat dikatakan bahwa digitalisasi kini dipandang lebih sebagai media, karenanya, dengan pengetian yang seperti ini ternyata berdampak kepada banyak usaha star up, yang gulung tikar, dan ini benar, disebabkan lebih kepada kekuatan digital yang tidak memberikan suatu experience ril yang nyata kepada konsumen, teknologi hanya menjadikan pencarian imajinasi berjalan lebih cepat.
Karenanya bersandar kepada kekuatan digital yang 10 persen harus dicarikan "pola baru" yang mampu mengangkat experience melalui berbagai redefinisi produk dan pelayanan agar selalu terbangun tempat dihati konsumen.
Meski hanya sekitar 10 persen tetapi ini merupakan angka bagaimana keterlibatan proses pemilihan yang melibatkan media, bpleh jadi yang lainnya keputusan itu ditentukan oleh kelompok umur, pekerjaan, jenis kelamin, keterkaitan sosial, dan ini sejalan dengan riset yang penulis lakukan tentang bagaimana kekuatan digital membentuk loyalitas.
Karenanya berdasarkan hal ini maka yang kita dapat ketahui adalah bahwa budaya pop itu tidak bisa menjadi sandaran yang kuat bagi pengembangan produk karena kekuatan produk itu tidak bisa hanya bersandarkan kepada banykanya yang nonton, yang komen, yang suka, tetapi kepada yang membeli "produk". Mengapa. Kekuatan produk itu harus mengarah kepada terjadinya transaksi. Bagi kita pengembangan usaha kepariwisataan yang mengandalkan konsep, karena penikmatannya harus datang, maka barangkali kita perlu merejuvinasi atau meredefinisi bahkan mereposioning tentang kepuasan, produk dan pasar yang kita miliki.
Kedua adalah pengembangan kepariwisataan harus berbasis kepada kekuatan tradisional. Oleh karenanya kepekaan terhadap kekuatan lingkungan, kepekaan terhadap jaringan masyarakat untuk mendapatkan ber - pariwisata.
Kekuatan tradisional bukanlah melulu itu sebuah yang berkesan budaya dan kesan ketinggalan jaman. Pendekatan ke-tradisional-an merupakan semangat guna menjadikan pariwisata sebagai bagian kebutuhan dasar yang harus ada didalam aktivitas upaya sebagai manusia menemukan makna dan tujuan kehidupannya. Oleh karenanya dengan menempatkan adanya pandangan masyarakat yang menjadi kebutuhannya untuk dipenuhi, maka dengan sendirinya kemudian ini telah menjadi modal utama dalam pengembangan usaha kepariwisataan. Melalui pemahaman yang demikian ini, kecemasan saat menyusun strategi trhadap sendirinya akan menjadikan dua peristiwa yakni moment pergantian tahun dan kecemasan ditahun 2023 telah menempatka nilai produk sebagai kegiatan besama pada dua keadaan sulit, kecemasan dan ketiadaan yang istilah Mittahal sebagai value space.
Dalam konsep tradisional yang demikian, maka sebenarnya kekuatan produk terdapat dalam tumbuhnya kebutuhan kita, pada celah yang demikian inilah akan selalu memunculkan produk baru, dengan nilai baru dan dengan cara penikmatan yang baru.
Pada konsep seperti ini maka kemudiannya peranan digital mendapat peran penting agar banyak masyarakat yang melakukan penggalian kegunaan baru, yang dengan cara ini maka akan membentuk adanya kebutuhan akan hadirnya produk, sehingga aktivitas pariwisata akan semakin banyak ragam kegiatannya, dan kehidupan pariwisata semakin menjanjikan.
Karenanya di akhir ditahun ini secara tidak langsung minimalakan memperoleh pengetahuan dari berbagai aktivitas kita, sehingga kita bisa memasuki tahun baru dengan senyuman karena kita masih bisa memperoleh benefit dalam kegiatan akhir tahun. Inilah mengapa, kekuatan digital dan pendemi yang telah membentuk konsep orang sekurangnya dua tahun ini sebagai penulis istilahkan dengan staynomic, mungkin secara alamiah akan kembali berubah. Mungkin ini menjadi seleksi alam.
Namun hal itu tidak memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat atau calon wisatawan jika usaha kita hanya mengejar nilai ekonominya yang timbul dari kegiatan berwisata, mengapa, karena pelayanan yang menggali new experience adalah pekerjaan ruh.
Apa yang harus kita dilakukan, penulis gambarkan minimal dua langkah, kesatu, dalam celah itu selalu ada jarak antara: orang ke orang, orang kewaktu, orang ke barang , dan mungkin seterusnya. Pada celah ini kita harus menerawang lebih dalam jauh ke lubuk kebutuhan. Kedua, mari kita coba gali sebenarnya apa dan siapa yang menikmati ketika proses berwisata itu berlangsung, hal ini penting guna kita mengetahui sebenarnya berwisata itu terjadi dengan sederhana. Dengan pemahaman seperti ini, upaya-upaya kita ini adalah bagian daripada membangun mengembangkan remindfullnes, jadi ketertarikan orang berwisata karena konsep yang kita kembangkan selalu bisa memberikan experience yang baru kepada wisatawan, oleh karenanya dengan harapan barulah kita pelaku usaha kepariwisataan akan mengalami usaha yang keberlanjutan.(nto/c)