Catatan Pinggir Kepariwisataan Bagian XI Konsumen Sama Perilaku Berbeda

Riau | Kamis, 01 Desember 2022 - 11:50 WIB

Catatan Pinggir Kepariwisataan Bagian XI Konsumen Sama Perilaku Berbeda
Riyono Gede Trisoko

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Itu juonyo, sebelas dua belas istilah populernya  dalam bahasa melayunya, itulah yang mungkin akan populer ditulisan ini.  Pada saat menjelang akhir tahun ini, kecemasan para pelaku usaha tidak terkecuali bagi  para usaha pariwisata, akan terbayang minimal  akan dua hal pertama adalah bisakah kita mengambil benefit disaat momen peralihan akhir tahun, kemudian yang kedua, bisakah kita melewatinya dengan aman tahun 2023 yang demikian ceritanya itu.

Pada catatan pinggir keperiwisataan bagian kesebelas ini penulis hendak berbagi pemikiran yang mudah-mudahan bisa memberi manfaat yang banyak kepada para pembaca, mengapa, karena bagian terpenting yang harus kita perhatikan bersama adalah bahwa kita sudah menguasai betul apa yang menjadi kekuatan produk atau usaha  kita, termasuk bagaimana cara menguasai market pasarnya.


Pergeseran tahun  yang akan terjadi tentunya tidak serta merta merubah pangsa pasar, dan tidak pula kontan merubah kepada kemampuan kita mengemas dan mengkomunikasikan antara kedua itu. Hanya saja bagian yang hendak penulis sampaikan di sini adalah, bahwa melewati dua hal besar di depan tadi, penulis memberikan harapan  akan terbersitnya optimis yang perlu selalu bisa dikembangkan, tentunya dengan kita mengamati, mempelajari dan memanfaatkan apa-apa di sekitar kita, mengapa,  karena  ada pesan  dari setiap peristiwa  di mana kita hadir.

Pertama, yang harus kita ketahui adalah, ada sebuah riset yang cukup menarik yang bersumber dari yakni Harvard  University bahwa kekuatan digital itu tidak lagi  sepenuhnya bisa menjadi sandaran utama bagi para pelaku usaha,  mengapa,  karena ternyata  kekuatan digital hanya  lebih mengarahkan  kepada pembentukan opini bukan sebuah yang jaminan  akan adanya cashflow, oleh karenanya  kemudian hal ini hanya berujung pada timbulnya pemahaman yang berbeda beda terhadap produk, sehingga dapat dikatakan bahwa digitalisasi kini dipandang lebih sebagai  media,  karenanya, dengan pengetian yang seperti  ini ternyata berdampak kepada  banyak usaha star up, yang gulung tikar, dan ini benar,  disebabkan  lebih kepada kekuatan digital yang tidak memberikan suatu experience ril yang nyata kepada konsumen, teknologi hanya menjadikan pencarian imajinasi berjalan lebih cepat.

Karenanya bersandar kepada kekuatan digital yang 10 persen harus  dicarikan "pola baru" yang mampu mengangkat experience melalui berbagai  redefinisi produk dan pelayanan agar selalu  terbangun tempat dihati konsumen.

Meski hanya sekitar 10 persen tetapi ini merupakan angka bagaimana keterlibatan proses pemilihan yang melibatkan media, bpleh jadi yang lainnya keputusan itu ditentukan oleh kelompok umur, pekerjaan, jenis kelamin, keterkaitan sosial,   dan ini sejalan dengan riset yang penulis lakukan tentang bagaimana kekuatan digital membentuk loyalitas.  

Karenanya berdasarkan hal ini maka yang kita dapat ketahui adalah bahwa budaya pop itu tidak bisa menjadi sandaran yang kuat bagi pengembangan produk karena kekuatan produk itu tidak bisa hanya bersandarkan kepada banykanya yang nonton, yang komen, yang suka, tetapi kepada yang membeli "produk". Mengapa. Kekuatan produk itu harus mengarah kepada terjadinya transaksi. Bagi kita pengembangan usaha kepariwisataan yang mengandalkan konsep, karena  penikmatannya harus datang, maka  barangkali kita perlu merejuvinasi  atau meredefinisi bahkan  mereposioning  tentang kepuasan, produk dan  pasar  yang kita miliki. 

Kedua adalah pengembangan kepariwisataan harus berbasis kepada kekuatan tradisional. Oleh karenanya kepekaan terhadap kekuatan lingkungan, kepekaan terhadap jaringan masyarakat untuk  mendapatkan  ber - pariwisata. 

Kekuatan  tradisional bukanlah melulu itu sebuah  yang berkesan budaya dan kesan ketinggalan jaman. Pendekatan ke-tradisional-an merupakan semangat guna menjadikan pariwisata sebagai bagian kebutuhan dasar yang harus ada didalam  aktivitas upaya sebagai   manusia menemukan makna dan tujuan kehidupannya. Oleh karenanya dengan menempatkan adanya  pandangan masyarakat yang menjadi kebutuhannya untuk dipenuhi, maka dengan sendirinya kemudian  ini telah  menjadi modal utama dalam pengembangan usaha kepariwisataan.  Melalui pemahaman yang demikian ini,  kecemasan saat menyusun strategi trhadap   sendirinya akan menjadikan dua peristiwa yakni  moment  pergantian tahun  dan  kecemasan  ditahun 2023  telah menempatka nilai produk sebagai  kegiatan besama pada  dua keadaan sulit,  kecemasan  dan ketiadaan yang istilah Mittahal  sebagai value space. 

Dalam konsep tradisional yang  demikian, maka sebenarnya kekuatan  produk terdapat dalam  tumbuhnya kebutuhan  kita,  pada celah yang demikian inilah akan selalu memunculkan produk baru, dengan nilai baru dan dengan cara penikmatan yang baru.

 Pada konsep seperti ini maka kemudiannya peranan digital mendapat peran penting agar banyak masyarakat yang melakukan penggalian kegunaan  baru,  yang dengan cara ini maka akan membentuk adanya kebutuhan akan hadirnya produk, sehingga aktivitas pariwisata akan semakin banyak ragam kegiatannya, dan kehidupan pariwisata semakin menjanjikan.

Karenanya di akhir ditahun ini secara tidak langsung  minimalakan memperoleh   pengetahuan dari berbagai aktivitas kita,  sehingga kita bisa memasuki tahun baru dengan senyuman karena kita masih bisa memperoleh benefit dalam kegiatan akhir tahun.  Inilah  mengapa, kekuatan digital dan  pendemi yang telah membentuk konsep orang sekurangnya dua tahun ini  sebagai penulis istilahkan  dengan staynomic, mungkin secara alamiah akan kembali berubah. Mungkin ini menjadi seleksi alam. 

Namun hal itu tidak memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat atau calon wisatawan  jika usaha kita  hanya  mengejar  nilai ekonominya yang timbul dari kegiatan berwisata, mengapa, karena pelayanan yang menggali new experience adalah pekerjaan ruh.

Apa yang harus kita dilakukan, penulis gambarkan minimal dua langkah, kesatu,  dalam celah itu selalu ada jarak antara: orang ke orang, orang kewaktu, orang ke barang , dan mungkin seterusnya. Pada celah ini kita harus menerawang lebih dalam jauh ke lubuk  kebutuhan. Kedua, mari kita coba gali sebenarnya apa dan siapa yang menikmati ketika proses berwisata itu berlangsung, hal ini penting guna kita mengetahui sebenarnya berwisata itu terjadi dengan sederhana. Dengan pemahaman seperti ini, upaya-upaya kita ini adalah bagian daripada membangun mengembangkan remindfullnes, jadi ketertarikan orang berwisata karena konsep yang kita kembangkan selalu bisa memberikan experience yang baru kepada wisatawan,  oleh karenanya dengan harapan barulah kita pelaku  usaha kepariwisataan akan mengalami usaha yang  keberlanjutan.(nto/c)    
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook