TKI Pelancong Itu Fakta,
Bukan Pura-pura
Dari berbagai sata pemberitaan seringkali atau rutin diadakan pemeriksaan oleh BNP2TKI ke Sumut, NAD, Riau, dan Kepri. Pihak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sangat jelas hasilnya pelayanan keberangkatan dan kepulangan TKI di pelabuhan adanya temuan TKI yang berangkat ke Malaysia dengan berpura-pura menjadi turis. (baca-inilah fakta yang harus dicarikan solusi).
Dikabarkan data dari Pelabuhan Selat Baru saja setiap hari sekitar 100 penumpang menyeberang ke Malaysia. Belum lagi dari Tanjung Balai Karimun, Dumai dan Batam. Maknanya jika mereka merupakan TKI “abu-abu” yakni menggunakan paspor 48 halaman bukan paspor TKI 24 halaman otomatis mereka tidak melengkapi diri dengan dokumen ketenagakerjaan karena memakai paspor melancong.
Fakta yang tak terbantahkan dan tidak akan dapat dicegah ini akan lebih tepat jika pemerintah melalui lembaga terkait membuat regulasi yang memayungi warga negaranya, karena sejujurnya negara kita belum mampu memberikan peluang lapangan kerja yang memadai. Apa yang dirasakan dan disampaikan warga kepada penulis di Selat Baru sepekan lalu perlu dicarikan solusinya, bukan sebaliknya disalahkan.
Warga sudah menderita di Malaysia, peras keringat banting tenaga dan tidak sedikit yang di penjara karena mencari kerja. Ramainya pencari kerja dengan paspor pelancong menjadi relevan karena data lama P4TKI sebanyak 173 TKI pada 2011 yang berangkat dari Pelabuhan Dumai yang dilengkapi dengan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) sedangkan pada 2012 hingga Juni hanya sebanyak 72 TKI.
Bermakna inilah problem yang sebenarnya, pemerintah jangan menambah berkerutnya wajah TKI dengan menyebut pura-pura atau tidak benar, atau dicap sebagai TKI ilegal karena nyata mereka legal. Sebenarnya mereka adalah warga negara Indonesia yang mengais rezeki di negeri jiran karena di negerinya sendiri tidak tersedia lapangan kerja sesuai bidangnya.
Semoga kedepan ketentuan dan regulasi baru yang bisa dipakai oleh P4TKI Dumai melayani urusan TKI khusus warga perbatasan dengan wilayah kerja meliputi lima kabupaten, kota yakni Dumai, Rokan Hilir, Siak, Bengkalis, dan Meranti. Diakui atau tidak warga perbatasan yang “menyeberang” adalah “turis kerja”.
Mereka tidak berpura-pura sebagai turis tapi ketentuan yang buat mereka harus berpura- pura . Apalagi sekarang di saat krisis mengikis habis sendi segala aspek terutama ekonomi di tandai dengan lunglainya nilai tukar rupiah sampai titik kulminasi terendah sepanjang sejarah berdirinya Indonesia. 1 dolar Amerika Serikat sama dengan Rp15 ribu, maka saatnya pemerintah membuat payung hukum agar mereka bisa bekerja dengan nyaman.
Jika sejak dulu Pelabuhan Dumai terkenal sebagai tempat lalu-lintas calon TKI dan TKI nonprosedural dari Sumatera, Jawa, bahkan hingga Nusa Tenggara yang ingin bekerja ke Malaysia. Mari diubah dengan menjadikan keistimewaan untuk warga yang melancong dengan bekerja agar Malaysia menghargai dan menghormati warga Indonesia.
Jika setiap hari ada sekitar 1.000 orang bepergian ke Malaysia melalui Pelabuhan Dumai dan Bengkalis. Maka memanfaatkan potensi sebagai jalan khusus untuk mengantarkan warga menambang devisa. Sudah diketahui bersama Malaysia mengizinkan pelancong dari Indonesia untuk bekerja di Malaysia. Kedaulatan antar negara tidak bisa dicampuri, tapi bukankah ini justeru peluang bagi Indonesia untuk menangkapnya, tinggal menyiapkan regulasinya maka sudah beres semuanya.
Sekarang bagaimana warga tidak menyangga berisiko bila bekerja di negeri orang tanpa kontrak kerja dan permit atau izin kerja. Bukan malah membuat aturan yang merumitkan dan menutup peluang yang ada. Terobosan sebenarnya telah di mulai dan di coba ketua Kadin Bengkalis Mashuri dengan mengadakan lawatan pada tahun 2014 bertemu langsung Menteri Melaka Ali Rustam dan Kadin Melaka Datuk Ramli.
Hasilnya sangat bagus, Menteri Melaka dan Kadin Melaka menyambut baik terkait tiga hal pertama tentang solusi tenaga kerja dari Bengkalis umumnya Riau, kedua kesepakatan niaga produk UKM, ketiga pemasaran hasil komoditi Bengkalis. Hanya saja peluang hebat ini mandeg karena pemerintah masih ragu untuk menangkapnya.
Jika saja regulasi dan perjanjian antar kedua negara berjalan dengan kesepakatan apakah antar Pemerintah Bengakalis-Melaka, Pemerintah Riau-Melaka, atau G to G Kuala Lumpur-Jakarta maka tidak akan ada lagi Malaysia mendeportasi TKI karena semuanya sudah legal, tidak ada istilah lagi TKI ilegal, tidak ada lagi jeritaan penderitaan dari lokap (penjara) Malaysia, tidak ada lagi keluarga dan kerabat kita yang menganggur meski harus “ menyeberang” di negeri Juran.
Semuanya berjalan penuh kedamaian dan penuh persahabatan sehingga istilah melebihi batas izin tinggal (overstay) di Malaysia tidak berlaku , serta tak akan nampak lagi pemandangan dan pemberitaan yang menyakitkan bahwa setiap tahun 20 ribu TKI diusir dari Malaysi. Semoga tulisan ini membuka pintu terbitnya regulasi atau payung hukum yang mengayomi dan menenteramkan sekaligus menyingkap tabir membawa kekalnya persaudaraan Malaysia-Indonesai. Aamiin.***