JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Alumni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ‘mewarnai’ sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Menariknya, mereka menjadi kuasa hukum dari dua pihak yang bersengketa. Yakni, Prabowo-Sandi dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Dari kubu Prabowo-Sandi, tiga di antara delapan advokat yang menjadi kuasa hukum tercatat pernah menjadi relawan sampai pengurus LBH-YLBHI. Yaitu, Bambang Widjojanto, Teuku Nasrullah dan Iskandar Sonhadji. Sedangkan dari kubu Jokowi-Ma’ruf, ada empat dari 13 pengacara. Yakni, Trimedya Panjaitan, Arsul Sani, Teguh Samudera, dan Luhut Pangaribuan.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI M Isnur menyebut di lembaganya memang mengenal istilah persaudaraan. Namun, itu hanya berlaku bagi mereka yang masih menjadi pengurus atau terikat secara struktural di YLBHI-LBH.
”Setelah selesai di LBH kami tidak lagi bertanggung jawab atau tidak ada lagi forum-forum yang secara langsung terikat,” ujarnya kepada JPG, Ahad (26/5).
Isnur menjelaskan bahwa YLBHI-LBH selalu menanamkan ideologi bantuan hukum struktural. Ideologi itu meliputi hak asasi manusia (HAM), negara hukum, demokrasi dan konstitusi. Nah, bagi alumni yang masih berpegang pada ideologi itu biasanya kerap diundang atau mengisi acara di kegiatan YLBHI-LBH. ”Tapi, kalau enggak satu ideologi ya nggak kami undang,” ujarnya.
Menurut Isnur, selama ini pengurus, relawan, atau pengacara pembantu di YLBHI-LBH ‘dibesarkan’ dengan kebebasan berpendapat atau egaliter. Sehingga, siapa pun bebas mengutarakan pendapatnya. Di lembaga bantuan hukum itu menerapkan pendidikan konflik. ”Kami dibesarkan dengan konflik,” terang aktivis yang masuk tim advokasi Novel Baswedan tersebut.